Aku tidak dapat memesan pagi. Kamu juga tidak bisa memesan malam. Begitupun dengan cinta, ia tidak bisa dipesan. Datang dengan sendirinya dan pergi sesukanya.

Katamu, aku terlalu baik untukmu jadi aku tidak pantas untukmu sehingga kau memutuskanku secara sepihak. Sungguh alasan yang tidak masuk di akal sehatku. Betapa bodohnya perkataanmu itu. Jika aku terlalu baik untukmu, seharusnya kamu mempertahankan aku karena tidak mudah mencari orang baik apalagi orang jujur seperti aku. Alasanmu terlalu klasik. Tapi yang klasik itu memang unik. Unik untuk ditertawakan. Menertawakanmu yang tidak lagi memilihku. Menertawakan kamu yang memutuskanku. Memutuskan hubungan kita yang sudah berjalan hampir dua tahun ini.

Aku telah memperjuangkanmu. Tapi di sana, kamu juga memperjuangkan cintamu dengan yang lain. Saat berangkat dan pulang kerja, aku selalu mengantar dan menjemputmu. Namun di tempat kerja, kamu mengantar dirimu untuk dicintai orang lain selain aku. Betapa jahatnya kamu.

Aku tak butuh pengakuan. Aku hanya butuh kejujuran. Aku orang yang jujur oleh karena itu kamu begitu mudahnya membohongiku. Untungnya, waktu bisa berbicara sendiri tanpa kupancing untuk bicara. Bagaimana tidak,  kamu dengan bodohmu lupa menutup emailmu yang kamu buka di leptopku waktu itu. Dengan sendirinya, waktu berbicara padaku. Diperlihatkannya emailmu yang berisi foto-foto mesramu dengannya. Kutelan air ludahku sambil cecegukan. Foto-fotomu telah membakar emosiku membuat jiwaku langsung bergejolak.

Ternyata, aku telah salah menilaimu. Kamu tak bisa menerjemahkan sayangku. Kamu juga tidak bisa mengartikan cintaku. Sungguh lemahnya nalarmu. Kamu tidak bisa menangkap sinyal tulus yang kuberikan. Cintaku padamu seperti ban serep. Kamu menggunakannya hanya ketika kamu membutuhkan. Lebih tepatnya, bukan sebenar-benar cinta. Buktinya, saat aku dan kamu menjalin cinta, kamu juga punya cinta yang lain.

Nasi telah menjadi bubur. Kepercayaan yang kuberikan padamu telah hancur lebur. Aku telah berhasil menilaimu sebagai orang yang tidak jujur. Kamu memohon-mohon untuk dimaafkan atas segala salahmu. Dengan lapang dada, aku memaafkanmu tapi tidak melupakan kesalahanmu.

Cinta bukan untuk dipermainkan karena memang dia bukan mainan. Cinta bukan dagangan yang dengan mudah kau perjual belikan. Cinta juga tidak berbicara untung rugi yang apabila kamu merasa rugi maka kamu akan mencari cinta lain yang dapat membuatmu untung. Jika seperti ini konsep cinta yang kamu punya, sungguh usia cintamu masih belia sebab belum bisa memikul tanggung jawab cinta yang telah dilimpahkan padamu.

Aku tidak mau mengatakan diriku bodoh atas keteledoran yang telah kamu lakukan terhadapku. Yang bodoh itu adalah kamu, lebih tepatnya cintamu. Kamu memang tidak layak untuk dipertahankan karena kata layak hanya berlaku bagi mereka yang sama-sama berjuang untuk mempertahankan cintanya, bukan berat sebelah.

Dari awal, aku sudah cerita kepadamu tentang kisah cintaku yang sebelumnya. Sekarang kejadian itu kembali terulang. Seperti pinang dibelah dua, kisah cintaku masih saja sama. Awalnya aku sangat berharap agar aroma pahit ini tidak kuhirup. Angin berhembus kencang, baunya terlempar ke hidungku. Untuk kesekian kalinya, kutelan juga kenyataan pahit ini. Syukurku adalah ternyata kamu bukan orang yang baik atau kamu bukan orang yang tepat untuk orang baik seperti aku. Seperti katamu, bahwa aku terlalu baik untukmu.

"aku minta maaf." sambil menangis, kamu meminta maafku. Maafku telah kuberikan semuanya padamu. Sebelum maaafmu kau minta padaku, minta maaflah pada dirimu terlebih dahulu. Sekarang, cintamu begitu pahit untuk kutelan. Perutku mual. Cintamu tak lagi dapat kuterima. Jika tetap kupaksakan juga memakannya, maka aku akan muntah, sia-sia. Aku telah berhasil menyimpulkan dirimu. Cukup sudah kau menyakitiku. Jangan dibagi lagi! Sakitmu milikmu. Bahagiamu milikmu. Aku juga sakit. Aku punya cara sendiri untuk membahagiakan diriku. Yang jelas, bahagiaku tidak lagi bahagiamu. Bahagiaku bukanlah bersamamu.

Kamu boleh kapan saja menghubungiku asal kamu sudah minta maaf pada dirimu, mengakui segala salahmu dan berjanji tidak akan mengulangi kali kedua kesalahan yang sama pada orang selain aku. Satu catatan untukmu, aku tidak akan pernah menghubungimu lagi. Begini caraku untuk membayar rasa kecewaku terhadapmu. Bye...
Silmi Novita Nurman
Selalu berharap cinta yang menikahi kejujuran
Designed by Yanalya / Freepik


Tengah malam sudah lewat, tinggal pagi datang menjemput. Namun ada sesuatu yang mengganjal di rongga dada. Aku ingin sekali menghubungimu. Seperti malam-malam dulu, kita bisa menghabiskan 3-5 jam hanya berbincang dalam telpon. Kini, mungkin kamu membenciku dan menjaga jarak denganku, agar tak lagi menyakitiku, katamu. Aku menghabiskan dua jam terakhir ini untuk bimbang dan sangat ingin menangis hanya karena apakah aku harus menghubungimu atau tidak. Ya, aku memutuskan untuk menghubungimu, mungkin ini akan mengganggu tidur malammu, mimpi indahmu dengan lelaki pujaanmu yang baru. Aku menghubungimu bukan untuk meminta maaf apalagi kesempatan kedua. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku rindu kamu. Ya, rindu kamu. Pun aku bahkan tak berharap kamu membalas perasaanku ini. Aku cuma ingin menyampaikan padamu dan kamu tahu bahwa perasaanku padamu masih menyala seperti dulu, tak pernah sekalipun padam.
Tak ada suara-suara lain selain bunyi ketukan jariku pada papan laptop dan dentuman menit jam dinding yang tak pernah lelah berputar. Hei, malam ini sunyi sekali. Aku benci sekali kesunyian, kamu tahu betul itu. Kadang gara-gara itu kamu sesekali sebal karena aku rewel minta selalu ditemani. Dan tak pernah lelah menanyakan kabarmu, bagaimana kamu menjalani hari-harimu. Saking seringnya bertanya, kamu pernah bilang aku bawelnya seperti emak-emak. Aku terima itu sangkaan itu. Namun yang tidak bisa aku terima adalah berpisah denganmu. Karena pada dasarnya, perpisahan adalah upaya menuju sisa-sisa kesia-siaan yang lahir untukd dilupakan. Aku benci lupa dan dilupakan.
Bolehkah aku meminta satu hal, jangan pernah lupakan aku. Jangan lupakan semua mimpi-mimpi yang pernah kamu bagikan kepadaku. Keinginan untuk hidup bersama, memiliki pekarangan bunga sendiri dan menjadi ibu yang selalu membuat seisi rumah malas jajan di luar karena masakan yang selalu dirindukan. Aku tak memintamu untuk mengingatnya setiap detik persisnya. Hanya, jika kamu tak sengaja makan makanan kesukaan kita berdua dengan kekasihmu, aku harap kamu mengingatku. Atau lagu-lagu yang pernah aku nyanyikan dengan fals ketika bersamamu sekalipun. Bukan sebagai apa-apa, hanya sebagai  yang pernah ada. Aku pun akan mengingatmu dengan cara seperti itu. Aku akan selalu mengingatmu ketika aku rajin makan, karena kamu yang paling khawatir dengan maagku. Dan hal-hal baik yang selalu kamu katakan, meski sekarang sekedar menanyakan kabar saja tidak. Tapi, aku akan tetap mengingatmu dengan cara seperti itu. Itu cukup. Lebih dari cukup.
Seperti cara kita saling jatuh cinta kala itu. Dengan sangat sederhana. Dari kebersamaan yang remeh, pesan-pesan tak penting dan kedekatan yang tak pernah dibuat-buat. Sederhana saja. Tanpa penyesalan dan tidak saling membenci. Hanya untuk mengingat saja. Bahwa kita pernah satu sama lain tersenyum bahagia. Tawa lepas dan sesekali saling menghangatkan dengan pelukan. Meski sementara. Meski telah lalu. Aku harap itu baik untuk sebuah kenangan, bukan justru menjadi sebuah kemarahan, luka, ketiadaan kabar dan perasaan yang perlahan pudar.
Tak perlulah kita ingat kenapa kita akhirnya saling menyakiti. Kamu yang memilih laki-laki lain sedangkan aku belum bisa berdamai dengan diriku sendiri. Tak perlulah hal itu untuk diingat. Oh iya, jangan pula ingat mengapa kita bisa saling jatuh cinta satu sama lain. Karena mengingat itu justru kepalang menyakitkan. Cukup ingatlah saja rahasia-rahasiaku seperti aku mengingat mimpi-mimpimu. Dan ingatlah kita sebagai sepasang manusia yang pernah saling berbagi hingga akhirnya kosong sendiri.
Aku tidak sampai hati menelponmu. Ada trauma yang sangat dalam. Setelah perpisahan itu, kamu berkali-kali tidak menjawab telponku, dan lebih seringa menolaknya. Mungkin kamu benar-benar muak denganku. Mungkin kamu benar-benar ingin sendiri dulu. Atau mungkin kamu memang sudah melupakanku dan berbahagia bersamanya. Aku mencoba mengerti itu. Tapi aku merindukanmu. Aku rindu mendegar kabarmu. Rindu mendengar cerita-ceritamu menjalani hari-hari yang panjang. Aku hanya ingin mendengarkan semuanya sekali lagi. Semua cerita dan mimpi yang pernah kamu bagi kepadaku. Aku merindukannya.
Ah, mengapa rindu ini begitu menyesakkan.



Shidqi Ni'am,
Penyemai rindu



Photo by Asaf R on Unsplash


I

Sebuah kekosongan. Hidup dengan ritme yang itu-itu saja, memiliki ketenangan dan kenyamanan yang ampuh. Meski membosankan. Itulah sebabnya kita akan selalu mencari hal yang baru. Orang baru. Membuat  sejumput ketenangan  terganggu oleh rasa penasaran. Ajaibnya, sekian detik lalu kita masih nyaman di zona ketidaktahuan, sekarang dihadapkan dengan perkenalan terhadap orang yang tak pernah dikenal sebelumnya.

“Aku sangat senang bertemu orang-orang baru. Sangat senang, karena bisa melihat sudut pandang lain, yang baru. Kemudian ada karakter baru yang harus kuketahui. Ini semacam pengalaman, yang tidak harus aku alami sendiri. Namun bisa kuambil hikmahnya.”

“Lalu yang lama dilupakan?”

“Tentu tidak. Yang lama sudah menjadi bagian diri, sedangkan yang baru, saatnya mempelajari seluk beluknya.”

“Hei, aku bukan anatomi tubuh yang kaupelajari di kuliahmu. Aku menawarkan diriku untuk menjadi bukan orang asing lagi bagimu.”

Asing. Kita tidak pernah tahu seberapa asing, sampai sang objek memunculkan dirinya sendiri di hadapan kita, dan dimulailah pergulatan emosi. Yang tidak tahu apa-apa menjadi menghapal wajah, menyebutkan nama, bercerita sedikit demi sedikit. Pertanyaan legendaris dari Dunia Sophie “siapakah kamu?” perlahan mulai terkuak. Orang asing muncul dari ketiadaan menjadi ada. Menjadi kamu.

Sekarang aku memikirkanmu. Kamu yang dulu entah siapa.

II
Photo by Joshua Ness on Unsplash
Photo by Joshua Ness on Unsplash

“Mau ngopi?”

Astaga. Ngopi katanya. Cuma berdua. Dan kira-kira apa yang akan dibicarakan dua orang asing yang tak lagi asing di depan secangkir kopi, yang mungkin akan dingin karena berjam-jam tak disentuh? Dalam ngopi kita seringkali melupakan kopi itu sendiri, karena yang begitu besar adalah siapa yang duduk di hadapan kita.

“Sudah bosan chatting ya?”

“Tentu saja. Waktuku tidak banyak tersita untuk chatting, dan apa yang kau ketikkan dalam pesanmu tidaklah begitu representatif. Aku suka melihat ekspresifmu, gaya bicaramu, nada suaramu, argumenmu yang berapi-api secara langsung. Dan semuanya tidak melelahkan, hanya indah.”

Pujian pertama. Sepertinya aku lupa rasanya dipuji. Dan apa untungnya dipuji orang yang baru saja dikenal? Sangat beruntung, kataku. Karena kesan pertama yang ditampilkan berhasil mempesona orang lain. Namun, siapa yang sesungguhnya terpesona? Aku yang segera mengiyakan ajakan ngopinya, atau dia yang sudah 15 menit duduk di bangku cafe itu, menungguku yang telat?

“Pesanlah apapun. Kopi, green tea, atau desert. Kita punya banyak waktu. Ah, maksudku, makanan itu menambah durasi waktu kita yang tak banyak.”

Memang kamu benar. Bahwa percakapan tanpa ada fitur keyboard, touch screen dan emoticon, sangat menyenangkan. Aku dengan cepat menghapal garis wajahmu sementara kamu asyik bercerita, dengan sedikit tawa yang membuat keriput di pelipis kiri kananmu. Tak pernah terbayangkan bukan, bagaimana takdir menyentuh kita seujung kuku saja. Di persimpangan jalan pertama aku belum mengenalmu, di simpang berikutnya kamu duduk di depanku, mendengarkan semua ocehan yang mengalir bagai orang kehausan.

Kopi tandas. Desert habis. Dan kita pulang. Namun tidak benar-benar pulang. Aku masih tertinggal di kepalamu. Sebab aku bangun tengah malam dari tidur dan mendapati pesan.

“Sorry for bothering. I think I like you.”

III

Tetapi perasaan suka tidak pernah sesederhana diucapkannya. Ada semacam tuntutan akan identitas suka itu sendiri. Sebab suka, sangat cair, sangat multitafsir, di sisi lain juga sangat membangkitkan harapan. Namun juga sangat bias, karena sama seperti semua hal di dunia, yang sangat dinamis, perasaan suka pun demikian. Dia bergerak cepat, berubah cepat, berkelindan dalam pusaran ketidakjelasan: apakah aku ingin dimiliki dengan rasa sukamu itu, atau tidak?

“Terlalu cepat untuk mengatakan bahwa itu cinta. Bahkan, ketika kamu merasa mencintai seseorang, bisa jadi itu hanya ilusi kagum.”

Hanya saja, pertemuan selanjutnya, aku semakin dalam terhisap pada pusaran bola matamu. Dengan itu, aku memahami cara sudut pandangmu. Dan aku ingin memiliki seluruh warna tawa, nada suara, gerakan tangan dan tubuh, serta argumenmu yang membuat tercengang itu. Apakah itu ilusi? It is so a fucking real!

Tidak pernah ada kenyataan bagimu, kecuali kenyataan itu sendiri. Yang sangat dinamis dan berputar cepat di pusaran hidup. Bahwa rasa penasaran yang selesai karena bahasa tubuh sang objek yang begitu mudahnya terbaca, membuat tidak penting lagi lapisan demi lapisan yang dulu pernah kita singkap bersama. Selapis tentang aku, selapis tentang kamu. Dan tidak pernah ada “kita”.

Konsekuensinya, kamu datang sebentar untuk pergi dalam waktu yang lama. Dan apa makna kata suka yang tersampaikan kemarin? Ilusi, bukan? Dan aku memikirkanmu sepanjang waktu, menebak-nebak namun tidak berani menyampaikan. Dalam hal ini, aku selalu menyesali, ah kenapa aku lahir sebagai perempuan?

Kopi dan desert di atas meja itu sudah dingin. Aku merenung memandang ke bangku di depanku. Tidak ada siapa-siapa. Cuma kenangan, melintas tajam. Singkat, namun menggores luka dalam. Seluruh ruangan penuh dengan aroma perasaan ditinggalkan.

IV
Photo by Volkan Olmez on Unsplash
Photo by Volkan Olmez on Unsplash

Tidak pernah ada yang benar-benar kosong setelah bersinggungan dengan sesuatu, meskipun ia pergi, menghilang, maupun tak kembali. Satu detik peristiwa adalah kenangan yang bertahan ribuan tahun lamanya. Dan itulah yang membuat selalu ada keterhubungan tak terjelaskan, dari orang yang bahkan kini menjadi asing.

“Siapa kamu?”

Ah, setelah seluruh dinamika itu, aku menjadi tidak lagi mengenalmu. Kamu kembali menjadi asing. Tidak bisa lagi kujangkau, kuprediksi, bahkan kuintervensi. Sesekali kamu menyapa namun yang terngiang dalam kepalaku: siapakah kamu? Samakah kamu dengan orang yang dulu mengajak berkenalan, kerap melantunkan pujian, dan manis terhadap perempuan?

Ritme kita kembali seperti dulu. Tidak bisa dipertemukan lagi. Takdir menyentuhkan kita kembali ke posisi semula, di simpang ini aku dengan aktivitasku, di simpang sana kau dengan sibukmu. Namun tidak pernah benar-benar ada yang sebenar-benarnya kosong, putih bersih, seperti sebelum kita bertemu. Kamu masih selalu tertinggal dalam kepalaku.
Meski asing.

Lamat-lamat, terdengar suara syahdu Seal menyanyikan Kiss from A Rose “The more I got you, stranger it feels......



Ria Fitriani
Bukan siapa-siapa lagi untukmu
Photo by Asaf R on Unsplash

“Puncak dari cinta adalah kesunyian.  Terima kasih, kau telah menyebar jaring-jaring sunyi itu, karena hanya dalam kesunyian aku bisa mencintaimu.”

Setiap hari, aku dan kamu selalu membicarakan tentang dia. Dia yang selama ini diam tanpa kata. Setiap hari, entah berapa ribu kata yang telah kita buang sia-sia, tapi dia tak juga pernah bersuara, bungkam seribu bahasa.

Aku dan kamu selalu menerka-nerka tentang rasa yang dia punya terhadapku, tapi kita selalu menempuh jalan buntu.

“Biarkanlah air itu menempuh jalan yang panjang dan berliku karena pada akhirnya nanti ia akan berhenti dan mengendap di satu titik yang bernama muara”, ucapku padamu.

Cinta itu tak harus memiliki dan kau pun tahu itu, tapi mungkin saja dia tidak. Dia mempunyai cinta yang elegan. Hatinya bagai mutiara yang tersimpan dalam kerang dimana tak sembarang orang bisa menjamah. Aku menyebutnya sebagai determinasi hati. Hati yang takkan terbuka jika tak ada sebab-akibat yang mendahuluinya. Sebagaimana hadirnya dia mendahului hadirnya rasaku padanya. ‘Ada-nya menghadirkan rasaku padanya. Dia ada maka rasa itu pun ada, begitulah kira-kira rasaku padanya.

Rasa yang hadir begitu saja karena rasa itu adalah kehendak bebas yang tak seorangpun dapat menolak kehadirannya, termasuk aku. Ia tak dihadirkan tapi hadir dengan sendirinya bahkan tumbuh tanpa ditanam, rindang tanpa disiram dan berbuah tanpa dirawat. Lalu, salahkah aku memiliki rasa itu? tentu tidak, sebab dia tak pernah tahu tentang rasaku dan sampai detik ini aku juga tak tahu tentang rasa yang dia miliki terhadapku.

Betapa nikmatnya mencintainya dalam sunyi. Jangan tanya kenapa aku mencintainya dalam diamku. Bagiku cinta tak butuh alasan, cinta tak butuh pembenaran karena aku cinta mencintainya. Jika kau terus memaksa kenapa aku mencintainya, baiklah, akan ku kabarkan kepadamu. Dia adalah individu yang unik dan bebas. Dia dapat memberikan keteraturan terhadap dunia batinku yang chaos.
Dia adalah individu yang bebas. Maka dengan kebebasan pula aku mencintainya. Aku bebas mencintainya dalam diam, dalam sunyiku.


Aku mendaki hatinya sendiri. Keringatku jatuh bercucuran tanpa ada sedikitpun perlawanan. Nadiku mulai menggerutu mengeja satu kata yang ia semprotkan ke telingaku “m-e-n-y-e-r-a-h-l-a-h”. Ah, kata-kata itu tak menggoyahkan tekadku. Bahkan, darahku mulai membeku, menggigil di peluk angin yang terus merayunya.


“Tidak, aku tak boleh menyerah”, ucap bathinku. Aku terus mendaki, disertai doa yang selalu ku genggam. Semangatku semakin membara tatkala dari kejauhan sana, dia melemparkan senyumnya padaku. Oh, betapa indahnya dunia ini. Senyumnya berhasil menghangatkan tubuhku kembali. Menghidupkan segala gejolak rasa yang tadinya hampir mati dikebiri waktu.

1,2,3, aku telah sampai di puncak tertinggi, tepat di puncak hatinya, dalam kesunyian, dalam keheningan. Tak ada suara, hanya ada hentakan doaku yang berlalu-lalang mengeja namanya. Nama yang selalu ku sebut di sepertiga malamku. Doaku selalu mengudara di angkasa, menghiasi langit senja hingga ku tak menyadari ada matahari yang diam-diam terbit dalam hatiku dan berharap esok atau lusa, matahari itu bisa tenggelam di ufuk hatinya, semoga.

Ah, obrolan kita tak ada ujungnya. Terima kasih kamu mau mendengar ceritaku. Mendengar cerita yang setiap hari dipenuhi dengan cinta. Cinta yang tak pernah mengenal kata spasi ataupun jeda yang menghendaki untuk berhenti. Sekali-kali tidak.

Silmi Novita Nurman
Perempuan yang berteduh di balik hatinya

Photo by Alex Jones on Unsplash



Apa yang pertama kali bisa kau deskripsikan tentang coklat? Kemudian tentang hujan? Lalu malam? Jangan menyebutkan gelap.

“Kita sama-sama tak pernah tahu apa makna pengorbanan. Bukan sekedar kau yang rela berlari menerjang hujan menempuh jalan terjal nan jauh hanya untuk membelikanku obat demam. Bukan juga tentang aku yang mengendap-endap di dinding malam hanya untuk memikirkanmu. Kita tak sesederhana itu, pikirku.

Aku tahu tak mudah menjadi sepertimu. Kerelaanmu membuatkan secangkir coklat hangat setiap pagi untukku. Menghidangkannya bersama sepotong kue brownis kukus kesukaanku. Takaran manis dan pahit yang selalu mampu melumpuhkan lidahku. Tak berhenti disitu, kau juga mencuci dan melipat rapi semua pakaian kerjaku. Menghidangkan makanan-makanan yang mengundang selera dan baik untuk kesehatan tubuhku. Rela terjaga semalaman demi buah hati kita, sementara aku tidur damai bersama mimpiku. Begitulah lelah tak pernah sanggup mengalahkan kasihmu.

Lelakiku, mari kemudian bercerita warna pastel yang berbaur dalam senja. Membentuk lengkungan-lengkungan indah bersama awan jingga ditemani angin yang bertiup mesra. Wajahmu yang teduh merona di antara bunga mawar di kebun halaman rumah kita. Menyapaku dengan hangat, menyambut kedatanganku yang sudah peluh mengejar deadline laporan. Sesekali memijat kakiku dengan bumbu guyonan yang tak akan kudapati perlakuan seperti itu jika menikah dengan yang lain. Guyonan garing yang sering menghantarkan tidurku. Tak cukup sampai disitu, kau juga gemar menyuruhku bermalas-malasan saat hari libur, melakukan segala bentuk aktifitas yang aku mau. Kau tak gemar menyambar-nyambar amarah, terlebih membenci, memaki dan membatasi. Dihadapmu, aku adalah kemerdekaan tanpa batas.

Aku tak akan mudah menyelami pemikiranmu. Kerelaanmu menanggalkan segala bentuk kontruksi sosial. Lenyap karena kemerdekaan berpikir untuk kemudian memberikan ruang kemerdekaan untukku. Di tanganmu aku menyaksikan terputusnya sebuah  kutukan nenek moyang. Tentang perumusan bahwa perempuan hanya berurusan dengan kasur, sumur dan dapur. Di tanganmu ada kelembutan tanpa mengurangi kehormatan.

Kita gemar berbincang tatkala senja. Di teras rumah yang kau sendiri setiap hari menatanya. Sesekali sembari mengajariku memetik gitar untuk sejenak menghiburku dari kepenatan pekerjaan. Sering kita membicarakan soal mereka, yang telah datang dan pergi diantara kita. Tentang luka menganga atau kemurkaan yang tak pernah tuntas. Pengkhianatan maupun takdir Tuhan. Kau selalu yakin bahwa puncak dari kasih sayang adalah kehilangan, sedang puncak dari ketulusan adalah mengikhlaskan. Duhai lelakiku, jika mencintai sosok sepertimu disebut dosa, maka aku rela berlumur dosa hingga tutup usia. Jika mendambakan sosok sepertimu adalah racun dalam dendam, maka aku akan mendendam sampai  lenyap dan tumbang.
Photo by Filipe Almeida on Unsplash

Begitulah... begitulah yang selalu ingin ku tuliskan padamu suatu saat nanti. Setiap kalimat itu ku ingat betul dalam akal dan hati. Sebelum akhirnya sekarang hilang bersama kata. Otak mogok untuk diajak bekerja. Ditemani gerimis malam sehabis kumandang adzan isya. Aku beku bersama anganku. Tersisa wajah-wajah lelaki yang sudah berlalu. Datang untuk kemudian pergi tanpa pamit dan peduli. Menyisakan sepotong sepi untuk tempatku mengadu. Aku meranggas bersama khayalku. Deretan lelaki yang kesekian ku selami, tak satu pun mengarah padamu. Aku mulai putus asa, tak hanya sampai di titik nol, aku bahkan telah sampai pada kata nelangsa. Kemerdekaan hanya sampai pada dinding angan. Kemerdekaan hanya melekat pada alam pikir. Kemajuan zaman tak menyudahi ketertindasan pada perempuan—sepertiku.

Tentu aku tak akan menyalahkanmu. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Pun, tak baik menyalahkan keadaan apalagi takdir. Jangan menyeret kata kesetaraan. Kata mereka itu hanya semacam dagelan. Anggap saja ini bagian dari pembagian peran. Bahwa aku harus selalu begini sedang kau memang mestinya begitu. Begini dan begitu masih kurang ambigu untuk menarasikan garis Tuhan menciptakan Adam dan Hawa. Jangan tempatkan kata harga diri pada kisah ini, sebab hal itu sudah terlampau sering dikisahkan dalam cerita-cerita dan drama pengarang sejati.

Terakhir, jajaran-jajaran huruf ini berujung membentuk harapan. Datanglah, datanglah lelakiku. Yang daripadamu dapat kusaksikan gugusan-gugusan warna pastel kala senja. Kau adalah senja terakhir dimataku. Cahaya terakhir sebelum menjelma gelap. Lalu aku akan terbaring damai dan penuh ketenangan. Bahwa coklat tak selalu tercipta untuk menenangkanku, namun juga untuk menenangkanmu. Sebagaimana hujan tak hanya melahirkan aku namun juga kamu. Sebelum akhirnya kita sadari bahwa kita sama-sama akan tenggelam dalam malam. Lenyap bersama gelap. Kita sama-sama hanya manusia. Lelakiku.

Lusia Ega A.
Pernah Menjadi Perempuanmu