Rintihan Doa-Doa Di Sela Tahajud Yang Terlewatkan | Shidqi Ni'am


Salam Tuhan dengan keagungan penuh dalam asma'ul husna. 

Aku sedang lelah-lelahnya. Yaitu lelah jatuh cinta, lelah mencintai dengan sekuat tenaga dan terlebih lagi lelah berharap. Aku lelah untuk membuang waktu-waktuku hanya untuk memelihara perasaan kepada seorang perempuan. Perasaan yang kemudian rasa-rasanya tak mungkin terbalas. Tentu Engkau tahu betul betapa lelahnya di titik itu. Aku memiliki cinta yang besar, yang belakangan seharusnya aku sadari itu anugerah terbaik dariMu. Namun, cintaku itu tidak mempunyai seseorang untuk dicintai atau lebih tepatnya tak ada yang memiliki. Untuk kesekian kalinya, ijinkanlah aku mengeluh tentang perasaan cinta yang lelah.

"Tuhan, cintaku merupa pekerja bangunan yang harus pulang larut maghrib dan di jalan terjebak macet khas Jakarta. Ingin marah dan mengumpat, tapi sepertinya sia-sia. Lelah merampas segala dayanya."

Tuhan, entah sudah berapa kali aku mendo'akan dia agar selalu bahagia. Silahkan tanyakan malaikatMu yang mencatat narasi-narasi panjangku yang itu-itu saja, yaitu memintaMu untuk menjamin kebahagiaannya. Tapi di akhir do'a yang kurapalkan, aku selalu berfikir ia akan jauh lebih bahagia tanpaku. Apakah dengan demikian Engkau lalu menganggapku lemah Tuhan? Apakah aku egois? Atau justru aku adalah sepecundang-pecundangnya lelaki yang tak berani memperjuangkan perasaannya? Memperjuangkan ia dan meyakinkan bahwa ia pasti bahagia hidup denganku? Ah Tuhan, tapi bagaimana jika ada sesuatu kebahagiaan yang lebih di luar ini semua, di luar keinginanku ini.

Tak ada yang perlu meragukan cintaku padanya. Cinta dengan segala hal bodoh dan konyol yang tak pernah bisa aku tunjukkan sebagai bentuk perasaanku padanya. Aku hanya ingin dicintai olehnya dengan tulus. Tapi aku berkali-kali tersadar bahwa sekedar hanya untuk berharap saja aku tidak pantas. Ah, menjadi terlalu melankolis dan menye itu melelahkan sekali Tuhan. Tapi aku tak ingin Engkau mencabut perasaanku ini.

Memang, tak ada yang lebih menyakitkan menjadi sebuah entitas perwujudan cinta yang tak kunjung berani diungkapkan. Ini menyakitkan, seperti gigir pisau tajam menyayat kulit perlahan-lahan lalu kemudian menyisakan luka yang menganga dan tak mungkin pulih. Tapi aku tak bermaksud menyalahkanMu Tuhan. Ini sama sekali bukan kecerobohanMu yang memberikan perasaan kepada lelaki yang lemah. Ini jelas murni ketololanku yang maha. Aku membiarkan saja diri ini memelihara perasaan kepada seorang perempuan yang tak mungkin bisa dimiliki dan selalu menganggap bahwa perasaan ini agung dan lebih penting dari segala yang ada di dunia ini. Lebih penting daripada memikirkan bagaimana caranya memberangkatkan ibuk haji tanpa harus antri berpuluh tahun untuk keberangkatannya. Lebih penting dari sekedar mengenalkan ‘Calon Menantu’ kepada bapak yang sholehah dan pejal dalam menghadapi hidup serta pandai dalam segala hal. Di titik itulah kebodohanku yang super maha itu tampak.

Tapi, apa yang lebih indah dari perasaan yang saling berbalas dan saling jatuh cinta? Ia seperti adegan Romeo dan Juliet yang tak perlu mati untuk merayakan perasaan mereka. Karena sepertinya yang lebih penting adalah merasakan, bukan melulu merayakan.”

Aku mungkin memang kesepian. Ya, aku lelah Tuhan. Aku lagi-lagi tak bermaksud menyalahkanMu atas apa-apa yang menimpa diriku. Aku juga tidak akan menyalahkan orang lain atau dia yang tak kunjung mengerti perasaanku. Tapi biarkanlah saja aku mengeluh padaMu, entah kepada siapa lagi aku harus mengeluh. Berharap setelah aku mengeluh padamu tiba-tiba ia akan mengirim pesan padaku, memintaku untuk datang ke kosnya, lalu mengajak bercumbu makan dan bubuk tumpuk jalan bersama. Kemudian kita saling jatuh cinta, lantas menikah dan merayakan segala kebodohan-kebodohan hidup bersama.

Yah, begitulah ketololanku Tuhan. Harapanku seperti mencari bentuk kentut yang empunya saja tak menghiraukan. Ini memang konyol Tuhan. Tapi biarlah aku merayakan kehidupanku dengan bodoh seumur hidup. Biarkanlah aku sekali saja melewati hidup yang kepalang membosankan ini untuk berani memperjuangkan satu-dua hal dengan sekuat tenaga, keras kepala, serta yang melebihi kemampuanku sendiri.

Oh iya Tuhan. Tolong sembuhkanlah ia dari deraian luka dan kenangan-kenangan yang lalu. Mungkin yang diakibatkan oleh laki-laki yang sama dungunya denganku. Laki-laki yang datang padanya terlebih dulu dariku. Laki-laki yang sudah meninggalkan kenangan dan mungkin juga luka padanya sebelum kedatanganku. Luka yang mungkin juga dulunya ia yakini adalah cinta.

Aku memang terlalu egois. Aku hanya memikirkan perasaanku padanya. Aku tak pernah berusaha, atau lebih tepatnya mengetahui cara untuk menyembuhkan lukanya. Aku tak tahu bagaiaman cara untuk menghibur dia di kala kenangan-kenangan yang bersifat melankolis menyerangnya atau ketika dia akan beristirahat setelah seharian bekerja. Ah, pada titik itu,  aku selalu berfikir keras Tuhan. Aku bisa apa?

Tuhan, apakah kenangan dan luka sama-sama mengajarkan manusia untuk menjadi dewasa? Jika memang demikian, kenapa kita harus menelan sakit dan resah tidak bisa tidur ketika kedua hal itu datang diantara mata yang mengantuk? Atau ketika kita sedang duduk termangu sendirian di sudut taman? Ah, Tapi memang tidak semua hal bisa dilawan ya Tuhan?

"Hai kamu, maukah kamu berbagi luka denganku? Berjalan berdua sembari menyembuhkannya?"

Ah iya Tuhan, aku rindu dia. Aku selalu ingat senyum riangnya, tawa-tawa kecilnya, kesukaan-kesukaannya, cubitan-cubitan kecil di punggungku dan raut wajah sebalnya. Tapi apa hakkku merindukannya? Biarlah.

Di hadapannya, aku hanya bisa merayakan kebahagiaanku sendiri, dalam hatiku sendiri karena, aku juga tak yakin apakah ia bahagia ketika bertemu denganku. Ketika bersama dia atau sedang kepikiran olehnya, tiba-tiba aku membayangkan kami saling jatuh cinta, saling memuja, menjaga, berharap masa depan akan segera terjadi, memikirkan nama anak-anak kami kelak, berangkat menuju masjid bersama, sholat jama'ah, berlomba membaca buku sebanyak-banyaknya. sesekali berdebat kecil untuk hal-hal sepele dan kemudian bercinta sepanjang hari di sela-sela libur kerja yang menjenuhkan.

Tuhan? Aku lelah, tapi aku yakin Engkau tak pernah lelah mendengarkan keluhan-keluhan manusia cengeng sepertiku ini. Akankah aku bisa menghilangkan sifat lemahku ini Tuhan? Berhenti menyia-nyiakan hidup dan menghapuskan segala kedunguan dan kebodohanku sendiri lantas menjadi laki-laki yang tepat baginya untuk memulai sebuah hidup baru sebagai orang yang lebih bijak? Mungkin itu yang ia inginkan. Entahlah Tuhan. Aku hanya berdo'a.

Tolong jangan sebal Tuhan. Aku akan mencoba berhenti mengeluh. Aku tahu Engkau mengetahui kehidupanku di masa depan. Sangat mungkin, bahwa kelak aku akan menertawakan masa-masa ini, perasaan-perasaan ini. Atau sangat mungkin, ketika tulisan ini dibaca olehnya, ia benar-benar yakin dan langsung jatuh cinta kepadaku.(tapi ternyata tim redaksi telat menerbitkan tulisan ini Tuhan.. ah, cobaan apalagi ini??)
Tapi Tuhan, mengapa jatuh cinta itu begitu merepotkan? Sama persis seperti anak-anak sekolah dipaksa menghafal rumus-rumus rumit untuk menghadapi ujian nasional matematika dengan disertai ketakutan-ketakutan yang tak pernah terbayangkan oleh bocah seumuran itu.

Mungkin ini juga sebuah titik balik yang sengaja Engkau timpakan padaku Tuhan. Semoga ini seperti adegan komikal yang sekali baca langsung tamat. Atau, justru ini adalah scene utama dari seluruh akumulasi kehidupan yang sudah aku lalui. Jika memang ini adalah akumulasi kehidupan yang sudah aku lalui -yaitu kesalahan-, aku semestinya belajar dari kesalahan. Sama halnya aku belajar untuk menghargai perempuan setelah berkali-kali aku menyakiti mereka. Belajar untuk menjaga perasaan setelah berulang kali menyepelekannya. Belajar merawat harapan setelah jutaan kali dibohonginya.

Tapi mungkin keadaannya memang harus begini. Mungkin juga ini adalah satu-satunya hal dalam  hidupku yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Mungkin juga di arsy' sana, Tuhan sedang tertawa terbahak dan minum kopi sembari mengatakan kepada teman-teman ngopinya, Jika laki-laki itu tidak memperjuangkan satu hal ini, niscaya ia akan menyesali sepanjang hidupnya".


Seperti biasa, aku tutup rintihan do’aku dengan mengiriminya surah pembuka dari kitab suci. Amin. 


Shidqi Ni'am
16 agustus 2015
(Disaat orang-orang sibuk memikirkan Negara, aku masih sibuk memikirkanmu. 
Maaf Indonesia)


0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment