Salam Tuhan dengan keagungan penuh
dalam asma'ul husna.
Aku sedang lelah-lelahnya. Yaitu lelah jatuh
cinta, lelah mencintai dengan sekuat tenaga dan terlebih lagi lelah berharap. Aku lelah untuk
membuang waktu-waktuku hanya untuk memelihara perasaan kepada seorang
perempuan. Perasaan yang kemudian rasa-rasanya tak mungkin terbalas. Tentu
Engkau tahu betul betapa lelahnya di titik itu. Aku memiliki cinta yang besar, yang
belakangan seharusnya aku sadari itu anugerah terbaik dariMu. Namun, cintaku itu tidak mempunyai seseorang untuk dicintai atau lebih tepatnya tak ada
yang memiliki. Untuk kesekian kalinya, ijinkanlah aku
mengeluh tentang perasaan cinta yang lelah.
"Tuhan, cintaku merupa pekerja bangunan yang harus pulang larut
maghrib dan di jalan terjebak macet khas Jakarta. Ingin marah dan mengumpat,
tapi sepertinya sia-sia. Lelah merampas segala dayanya."
Tuhan, entah sudah berapa kali aku
mendo'akan dia agar selalu bahagia.
Silahkan tanyakan malaikatMu yang mencatat narasi-narasi panjangku yang itu-itu saja, yaitu
memintaMu untuk menjamin kebahagiaannya. Tapi di akhir do'a yang kurapalkan,
aku selalu berfikir ia akan jauh lebih bahagia tanpaku. Apakah dengan
demikian Engkau lalu menganggapku lemah Tuhan? Apakah aku
egois? Atau justru aku adalah sepecundang-pecundangnya lelaki yang tak berani
memperjuangkan perasaannya? Memperjuangkan ia dan meyakinkan bahwa ia pasti
bahagia hidup denganku? Ah Tuhan, tapi bagaimana jika ada sesuatu kebahagiaan
yang lebih di luar ini semua, di luar keinginanku ini.
Tak
ada yang perlu meragukan cintaku padanya. Cinta dengan segala hal bodoh dan
konyol yang tak pernah bisa aku tunjukkan sebagai bentuk perasaanku padanya. Aku
hanya ingin dicintai olehnya dengan tulus. Tapi aku berkali-kali tersadar bahwa
sekedar hanya untuk berharap saja aku tidak pantas. Ah, menjadi terlalu
melankolis dan menye itu melelahkan sekali Tuhan. Tapi
aku tak ingin Engkau mencabut perasaanku ini.
Memang, tak ada yang lebih
menyakitkan menjadi sebuah entitas perwujudan cinta yang tak kunjung berani
diungkapkan. Ini menyakitkan, seperti gigir pisau tajam menyayat kulit
perlahan-lahan lalu kemudian menyisakan luka yang menganga dan tak mungkin
pulih. Tapi aku tak bermaksud
menyalahkanMu Tuhan. Ini sama sekali bukan kecerobohanMu yang memberikan
perasaan kepada lelaki yang lemah. Ini jelas murni ketololanku yang maha. Aku
membiarkan saja diri ini memelihara perasaan kepada seorang perempuan yang tak
mungkin bisa dimiliki dan selalu menganggap
bahwa perasaan ini agung dan lebih penting dari segala yang ada di dunia ini.
Lebih penting daripada memikirkan bagaimana caranya memberangkatkan ibuk haji
tanpa harus antri berpuluh tahun untuk keberangkatannya. Lebih penting dari
sekedar mengenalkan ‘Calon Menantu’ kepada bapak yang sholehah dan pejal dalam menghadapi hidup serta pandai dalam segala
hal. Di titik itulah kebodohanku yang super maha itu tampak.
“Tapi, apa yang lebih indah dari perasaan yang saling
berbalas dan saling jatuh cinta? Ia seperti adegan Romeo dan Juliet yang tak
perlu mati untuk merayakan perasaan mereka. Karena sepertinya yang lebih
penting adalah merasakan, bukan melulu merayakan.”
Aku
mungkin memang kesepian. Ya, aku lelah Tuhan. Aku lagi-lagi tak bermaksud
menyalahkanMu atas apa-apa yang menimpa diriku. Aku juga tidak akan menyalahkan
orang lain atau dia yang tak kunjung mengerti perasaanku. Tapi biarkanlah saja
aku mengeluh padaMu, entah kepada siapa lagi aku harus mengeluh. Berharap
setelah aku mengeluh padamu tiba-tiba ia akan mengirim pesan padaku, memintaku
untuk datang ke kosnya, lalu mengajak bercumbu makan dan bubuk tumpuk jalan bersama. Kemudian
kita saling jatuh cinta, lantas menikah dan merayakan segala
kebodohan-kebodohan hidup bersama.
Yah,
begitulah ketololanku Tuhan. Harapanku seperti mencari bentuk kentut yang
empunya saja tak menghiraukan. Ini memang konyol Tuhan. Tapi biarlah aku
merayakan kehidupanku dengan bodoh seumur hidup. Biarkanlah aku sekali saja
melewati hidup yang kepalang membosankan ini untuk berani memperjuangkan
satu-dua hal dengan sekuat tenaga, keras kepala, serta yang melebihi kemampuanku
sendiri.
Oh
iya Tuhan. Tolong sembuhkanlah ia dari deraian luka dan kenangan-kenangan yang
lalu. Mungkin yang diakibatkan oleh laki-laki yang sama dungunya denganku.
Laki-laki yang datang padanya terlebih dulu dariku. Laki-laki yang sudah
meninggalkan kenangan dan mungkin juga luka padanya sebelum kedatanganku. Luka
yang mungkin juga dulunya ia yakini adalah cinta.
Aku
memang terlalu egois. Aku hanya memikirkan perasaanku padanya. Aku tak pernah berusaha, atau lebih tepatnya mengetahui cara untuk
menyembuhkan lukanya. Aku tak tahu bagaiaman cara untuk menghibur dia di kala
kenangan-kenangan yang bersifat melankolis menyerangnya atau ketika dia akan beristirahat setelah
seharian bekerja. Ah, pada titik itu, aku selalu berfikir keras Tuhan. Aku
bisa apa?
Tuhan, apakah kenangan dan luka sama-sama mengajarkan manusia untuk menjadi dewasa? Jika memang
demikian, kenapa kita harus menelan sakit dan resah tidak bisa tidur ketika kedua hal itu datang diantara mata yang
mengantuk?
Atau ketika kita sedang duduk termangu sendirian di sudut taman? Ah, Tapi memang tidak semua hal bisa dilawan ya Tuhan?
"Hai kamu, maukah kamu berbagi luka denganku? Berjalan berdua sembari
menyembuhkannya?"
Ah
iya Tuhan, aku rindu dia. Aku selalu ingat senyum
riangnya, tawa-tawa kecilnya, kesukaan-kesukaannya, cubitan-cubitan kecil di
punggungku dan raut wajah sebalnya. Tapi
apa hakkku merindukannya? Biarlah.
Di
hadapannya, aku hanya bisa merayakan kebahagiaanku sendiri, dalam hatiku sendiri karena, aku juga tak yakin
apakah ia bahagia ketika bertemu denganku. Ketika bersama dia atau sedang
kepikiran olehnya, tiba-tiba aku membayangkan kami saling jatuh cinta,
saling memuja, menjaga, berharap masa depan akan segera terjadi,
memikirkan
nama anak-anak kami kelak, berangkat menuju masjid bersama, sholat jama'ah,
berlomba membaca buku sebanyak-banyaknya. sesekali berdebat kecil untuk hal-hal sepele dan kemudian bercinta
sepanjang hari di sela-sela libur kerja yang menjenuhkan.
Tuhan?
Aku lelah, tapi aku yakin Engkau tak pernah lelah mendengarkan keluhan-keluhan
manusia cengeng sepertiku ini. Akankah
aku bisa menghilangkan sifat lemahku ini Tuhan? Berhenti menyia-nyiakan hidup
dan menghapuskan segala kedunguan dan kebodohanku sendiri lantas menjadi laki-laki
yang tepat baginya untuk memulai sebuah hidup baru sebagai orang yang lebih
bijak? Mungkin itu yang ia inginkan. Entahlah Tuhan. Aku hanya berdo'a.
Tolong
jangan sebal Tuhan. Aku akan mencoba berhenti mengeluh. Aku tahu Engkau
mengetahui kehidupanku di masa depan. Sangat mungkin, bahwa kelak aku
akan menertawakan masa-masa ini, perasaan-perasaan ini. Atau sangat mungkin, ketika tulisan ini
dibaca olehnya, ia benar-benar yakin dan langsung jatuh cinta kepadaku.(tapi ternyata tim
redaksi telat menerbitkan tulisan ini Tuhan.. ah, cobaan apalagi ini??)
Tapi Tuhan, mengapa jatuh cinta itu begitu
merepotkan? Sama persis seperti anak-anak sekolah dipaksa menghafal rumus-rumus
rumit untuk menghadapi ujian nasional matematika dengan disertai
ketakutan-ketakutan yang tak pernah terbayangkan oleh bocah seumuran itu.
Mungkin
ini juga sebuah titik balik yang sengaja Engkau timpakan padaku Tuhan. Semoga
ini seperti adegan komikal yang sekali baca langsung tamat. Atau, justru ini adalah scene utama dari seluruh akumulasi
kehidupan yang sudah aku lalui. Jika memang ini adalah akumulasi kehidupan yang sudah aku
lalui -yaitu kesalahan-, aku semestinya belajar dari kesalahan. Sama halnya aku belajar untuk
menghargai perempuan setelah berkali-kali aku menyakiti mereka. Belajar untuk
menjaga perasaan setelah berulang kali menyepelekannya. Belajar merawat harapan
setelah jutaan kali dibohonginya.
Tapi
mungkin keadaannya memang harus begini. Mungkin juga ini adalah satu-satunya
hal dalam hidupku yang harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Mungkin juga di arsy' sana, Tuhan sedang tertawa terbahak dan minum kopi
sembari mengatakan kepada teman-teman ngopinya, “Jika laki-laki itu tidak
memperjuangkan satu hal ini, niscaya ia akan menyesali sepanjang
hidupnya".
Seperti
biasa, aku tutup
rintihan do’aku dengan mengiriminya surah pembuka dari kitab suci. Amin.
Shidqi Ni'am
16 agustus 2015
(Disaat orang-orang
sibuk memikirkan Negara, aku masih sibuk memikirkanmu.
Maaf Indonesia)