![]() |
“Puncak dari cinta adalah kesunyian. Terima kasih, kau telah menyebar
jaring-jaring sunyi itu, karena hanya dalam kesunyian aku bisa mencintaimu.” |
Setiap hari, aku dan kamu selalu membicarakan tentang dia. Dia yang
selama ini diam tanpa kata. Setiap hari, entah berapa ribu kata yang telah kita
buang sia-sia, tapi dia tak juga pernah bersuara, bungkam seribu bahasa.
Aku dan kamu selalu menerka-nerka tentang rasa yang dia punya
terhadapku, tapi kita selalu menempuh jalan buntu.
“Biarkanlah air itu menempuh jalan yang panjang dan berliku karena
pada akhirnya nanti ia akan berhenti dan mengendap di satu titik yang bernama
muara”, ucapku padamu.
Cinta itu tak harus memiliki dan kau pun tahu itu, tapi mungkin
saja dia tidak. Dia mempunyai cinta yang elegan. Hatinya bagai mutiara yang
tersimpan dalam kerang dimana tak sembarang orang bisa menjamah. Aku
menyebutnya sebagai determinasi hati. Hati yang takkan terbuka jika tak ada
sebab-akibat yang mendahuluinya. Sebagaimana hadirnya dia mendahului hadirnya
rasaku padanya. ‘Ada’-nya
menghadirkan rasaku padanya. Dia ada maka rasa itu pun ada, begitulah kira-kira
rasaku padanya.
Rasa yang hadir begitu saja karena rasa itu adalah kehendak bebas
yang tak seorangpun dapat menolak kehadirannya, termasuk aku. Ia tak dihadirkan
tapi hadir dengan sendirinya bahkan tumbuh tanpa ditanam, rindang tanpa disiram
dan berbuah tanpa dirawat. Lalu, salahkah aku memiliki rasa itu? tentu
tidak, sebab dia tak pernah tahu tentang rasaku dan sampai detik ini aku juga
tak tahu tentang rasa yang dia miliki terhadapku.
Betapa nikmatnya mencintainya dalam sunyi. Jangan tanya kenapa aku
mencintainya dalam diamku. Bagiku cinta tak butuh alasan, cinta tak butuh
pembenaran karena aku cinta mencintainya. Jika kau terus memaksa kenapa aku
mencintainya, baiklah, akan ku kabarkan kepadamu. Dia adalah individu yang unik
dan bebas. Dia dapat memberikan keteraturan terhadap dunia batinku yang chaos.
Dia adalah individu yang bebas. Maka dengan kebebasan pula aku
mencintainya. Aku bebas mencintainya dalam diam, dalam sunyiku.
Aku mendaki hatinya sendiri. Keringatku jatuh bercucuran tanpa ada sedikitpun perlawanan. Nadiku mulai menggerutu mengeja satu kata yang ia semprotkan ke telingaku “m-e-n-y-e-r-a-h-l-a-h”. Ah, kata-kata itu tak menggoyahkan tekadku. Bahkan, darahku mulai membeku, menggigil di peluk angin yang terus merayunya.
“Tidak, aku tak boleh menyerah”, ucap bathinku. Aku terus mendaki, disertai doa yang selalu ku genggam. Semangatku semakin membara tatkala dari kejauhan sana, dia melemparkan senyumnya padaku. Oh, betapa indahnya dunia ini. Senyumnya berhasil menghangatkan tubuhku kembali. Menghidupkan segala gejolak rasa yang tadinya hampir mati dikebiri waktu.
1,2,3, aku telah sampai di puncak tertinggi, tepat di puncak
hatinya, dalam kesunyian, dalam keheningan. Tak ada suara, hanya ada hentakan
doaku yang berlalu-lalang mengeja namanya. Nama yang selalu ku sebut di
sepertiga malamku. Doaku selalu mengudara di angkasa, menghiasi langit senja
hingga ku tak menyadari ada matahari yang diam-diam terbit dalam hatiku dan
berharap esok atau lusa, matahari itu bisa tenggelam di ufuk hatinya, semoga.
Ah, obrolan kita tak ada ujungnya. Terima kasih kamu mau mendengar ceritaku.
Mendengar cerita yang setiap hari dipenuhi dengan cinta. Cinta yang tak pernah
mengenal kata spasi ataupun jeda yang menghendaki untuk berhenti. Sekali-kali
tidak.
Silmi Novita Nurman
Perempuan yang
berteduh di balik hatinya