MAAF, AKU MENCINTAIMU DALAM SUNYI | Silmi Novita Nurman

“Puncak dari cinta adalah kesunyian.  Terima kasih, kau telah menyebar jaring-jaring sunyi itu, karena hanya dalam kesunyian aku bisa mencintaimu.”

Setiap hari, aku dan kamu selalu membicarakan tentang dia. Dia yang selama ini diam tanpa kata. Setiap hari, entah berapa ribu kata yang telah kita buang sia-sia, tapi dia tak juga pernah bersuara, bungkam seribu bahasa.

Aku dan kamu selalu menerka-nerka tentang rasa yang dia punya terhadapku, tapi kita selalu menempuh jalan buntu.

“Biarkanlah air itu menempuh jalan yang panjang dan berliku karena pada akhirnya nanti ia akan berhenti dan mengendap di satu titik yang bernama muara”, ucapku padamu.

Cinta itu tak harus memiliki dan kau pun tahu itu, tapi mungkin saja dia tidak. Dia mempunyai cinta yang elegan. Hatinya bagai mutiara yang tersimpan dalam kerang dimana tak sembarang orang bisa menjamah. Aku menyebutnya sebagai determinasi hati. Hati yang takkan terbuka jika tak ada sebab-akibat yang mendahuluinya. Sebagaimana hadirnya dia mendahului hadirnya rasaku padanya. ‘Ada-nya menghadirkan rasaku padanya. Dia ada maka rasa itu pun ada, begitulah kira-kira rasaku padanya.

Rasa yang hadir begitu saja karena rasa itu adalah kehendak bebas yang tak seorangpun dapat menolak kehadirannya, termasuk aku. Ia tak dihadirkan tapi hadir dengan sendirinya bahkan tumbuh tanpa ditanam, rindang tanpa disiram dan berbuah tanpa dirawat. Lalu, salahkah aku memiliki rasa itu? tentu tidak, sebab dia tak pernah tahu tentang rasaku dan sampai detik ini aku juga tak tahu tentang rasa yang dia miliki terhadapku.

Betapa nikmatnya mencintainya dalam sunyi. Jangan tanya kenapa aku mencintainya dalam diamku. Bagiku cinta tak butuh alasan, cinta tak butuh pembenaran karena aku cinta mencintainya. Jika kau terus memaksa kenapa aku mencintainya, baiklah, akan ku kabarkan kepadamu. Dia adalah individu yang unik dan bebas. Dia dapat memberikan keteraturan terhadap dunia batinku yang chaos.
Dia adalah individu yang bebas. Maka dengan kebebasan pula aku mencintainya. Aku bebas mencintainya dalam diam, dalam sunyiku.


Aku mendaki hatinya sendiri. Keringatku jatuh bercucuran tanpa ada sedikitpun perlawanan. Nadiku mulai menggerutu mengeja satu kata yang ia semprotkan ke telingaku “m-e-n-y-e-r-a-h-l-a-h”. Ah, kata-kata itu tak menggoyahkan tekadku. Bahkan, darahku mulai membeku, menggigil di peluk angin yang terus merayunya.


“Tidak, aku tak boleh menyerah”, ucap bathinku. Aku terus mendaki, disertai doa yang selalu ku genggam. Semangatku semakin membara tatkala dari kejauhan sana, dia melemparkan senyumnya padaku. Oh, betapa indahnya dunia ini. Senyumnya berhasil menghangatkan tubuhku kembali. Menghidupkan segala gejolak rasa yang tadinya hampir mati dikebiri waktu.

1,2,3, aku telah sampai di puncak tertinggi, tepat di puncak hatinya, dalam kesunyian, dalam keheningan. Tak ada suara, hanya ada hentakan doaku yang berlalu-lalang mengeja namanya. Nama yang selalu ku sebut di sepertiga malamku. Doaku selalu mengudara di angkasa, menghiasi langit senja hingga ku tak menyadari ada matahari yang diam-diam terbit dalam hatiku dan berharap esok atau lusa, matahari itu bisa tenggelam di ufuk hatinya, semoga.

Ah, obrolan kita tak ada ujungnya. Terima kasih kamu mau mendengar ceritaku. Mendengar cerita yang setiap hari dipenuhi dengan cinta. Cinta yang tak pernah mengenal kata spasi ataupun jeda yang menghendaki untuk berhenti. Sekali-kali tidak.

Silmi Novita Nurman
Perempuan yang berteduh di balik hatinya

Photo by Alex Jones on Unsplash

0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment