LELAKIKU | Lusia Ega A.



Apa yang pertama kali bisa kau deskripsikan tentang coklat? Kemudian tentang hujan? Lalu malam? Jangan menyebutkan gelap.

“Kita sama-sama tak pernah tahu apa makna pengorbanan. Bukan sekedar kau yang rela berlari menerjang hujan menempuh jalan terjal nan jauh hanya untuk membelikanku obat demam. Bukan juga tentang aku yang mengendap-endap di dinding malam hanya untuk memikirkanmu. Kita tak sesederhana itu, pikirku.

Aku tahu tak mudah menjadi sepertimu. Kerelaanmu membuatkan secangkir coklat hangat setiap pagi untukku. Menghidangkannya bersama sepotong kue brownis kukus kesukaanku. Takaran manis dan pahit yang selalu mampu melumpuhkan lidahku. Tak berhenti disitu, kau juga mencuci dan melipat rapi semua pakaian kerjaku. Menghidangkan makanan-makanan yang mengundang selera dan baik untuk kesehatan tubuhku. Rela terjaga semalaman demi buah hati kita, sementara aku tidur damai bersama mimpiku. Begitulah lelah tak pernah sanggup mengalahkan kasihmu.

Lelakiku, mari kemudian bercerita warna pastel yang berbaur dalam senja. Membentuk lengkungan-lengkungan indah bersama awan jingga ditemani angin yang bertiup mesra. Wajahmu yang teduh merona di antara bunga mawar di kebun halaman rumah kita. Menyapaku dengan hangat, menyambut kedatanganku yang sudah peluh mengejar deadline laporan. Sesekali memijat kakiku dengan bumbu guyonan yang tak akan kudapati perlakuan seperti itu jika menikah dengan yang lain. Guyonan garing yang sering menghantarkan tidurku. Tak cukup sampai disitu, kau juga gemar menyuruhku bermalas-malasan saat hari libur, melakukan segala bentuk aktifitas yang aku mau. Kau tak gemar menyambar-nyambar amarah, terlebih membenci, memaki dan membatasi. Dihadapmu, aku adalah kemerdekaan tanpa batas.

Aku tak akan mudah menyelami pemikiranmu. Kerelaanmu menanggalkan segala bentuk kontruksi sosial. Lenyap karena kemerdekaan berpikir untuk kemudian memberikan ruang kemerdekaan untukku. Di tanganmu aku menyaksikan terputusnya sebuah  kutukan nenek moyang. Tentang perumusan bahwa perempuan hanya berurusan dengan kasur, sumur dan dapur. Di tanganmu ada kelembutan tanpa mengurangi kehormatan.

Kita gemar berbincang tatkala senja. Di teras rumah yang kau sendiri setiap hari menatanya. Sesekali sembari mengajariku memetik gitar untuk sejenak menghiburku dari kepenatan pekerjaan. Sering kita membicarakan soal mereka, yang telah datang dan pergi diantara kita. Tentang luka menganga atau kemurkaan yang tak pernah tuntas. Pengkhianatan maupun takdir Tuhan. Kau selalu yakin bahwa puncak dari kasih sayang adalah kehilangan, sedang puncak dari ketulusan adalah mengikhlaskan. Duhai lelakiku, jika mencintai sosok sepertimu disebut dosa, maka aku rela berlumur dosa hingga tutup usia. Jika mendambakan sosok sepertimu adalah racun dalam dendam, maka aku akan mendendam sampai  lenyap dan tumbang.
Photo by Filipe Almeida on Unsplash

Begitulah... begitulah yang selalu ingin ku tuliskan padamu suatu saat nanti. Setiap kalimat itu ku ingat betul dalam akal dan hati. Sebelum akhirnya sekarang hilang bersama kata. Otak mogok untuk diajak bekerja. Ditemani gerimis malam sehabis kumandang adzan isya. Aku beku bersama anganku. Tersisa wajah-wajah lelaki yang sudah berlalu. Datang untuk kemudian pergi tanpa pamit dan peduli. Menyisakan sepotong sepi untuk tempatku mengadu. Aku meranggas bersama khayalku. Deretan lelaki yang kesekian ku selami, tak satu pun mengarah padamu. Aku mulai putus asa, tak hanya sampai di titik nol, aku bahkan telah sampai pada kata nelangsa. Kemerdekaan hanya sampai pada dinding angan. Kemerdekaan hanya melekat pada alam pikir. Kemajuan zaman tak menyudahi ketertindasan pada perempuan—sepertiku.

Tentu aku tak akan menyalahkanmu. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Pun, tak baik menyalahkan keadaan apalagi takdir. Jangan menyeret kata kesetaraan. Kata mereka itu hanya semacam dagelan. Anggap saja ini bagian dari pembagian peran. Bahwa aku harus selalu begini sedang kau memang mestinya begitu. Begini dan begitu masih kurang ambigu untuk menarasikan garis Tuhan menciptakan Adam dan Hawa. Jangan tempatkan kata harga diri pada kisah ini, sebab hal itu sudah terlampau sering dikisahkan dalam cerita-cerita dan drama pengarang sejati.

Terakhir, jajaran-jajaran huruf ini berujung membentuk harapan. Datanglah, datanglah lelakiku. Yang daripadamu dapat kusaksikan gugusan-gugusan warna pastel kala senja. Kau adalah senja terakhir dimataku. Cahaya terakhir sebelum menjelma gelap. Lalu aku akan terbaring damai dan penuh ketenangan. Bahwa coklat tak selalu tercipta untuk menenangkanku, namun juga untuk menenangkanmu. Sebagaimana hujan tak hanya melahirkan aku namun juga kamu. Sebelum akhirnya kita sadari bahwa kita sama-sama akan tenggelam dalam malam. Lenyap bersama gelap. Kita sama-sama hanya manusia. Lelakiku.

Lusia Ega A.
Pernah Menjadi Perempuanmu

0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment