![]() |
Apa
yang pertama kali bisa kau deskripsikan tentang coklat? Kemudian tentang hujan?
Lalu malam? Jangan menyebutkan gelap.
|
“Kita
sama-sama tak pernah tahu apa makna pengorbanan.
Bukan sekedar kau yang rela berlari menerjang hujan menempuh jalan terjal nan
jauh hanya untuk membelikanku obat demam. Bukan juga tentang aku yang
mengendap-endap di dinding malam hanya untuk memikirkanmu. Kita tak sesederhana
itu, pikirku.
Aku tahu tak mudah menjadi sepertimu.
Kerelaanmu membuatkan secangkir coklat hangat setiap pagi untukku. Menghidangkannya
bersama sepotong kue brownis kukus kesukaanku. Takaran manis dan pahit yang
selalu mampu melumpuhkan lidahku. Tak berhenti disitu, kau juga mencuci dan
melipat rapi semua pakaian kerjaku. Menghidangkan makanan-makanan yang
mengundang selera dan baik untuk kesehatan tubuhku. Rela terjaga semalaman demi buah hati
kita, sementara aku tidur damai bersama mimpiku. Begitulah lelah tak pernah
sanggup mengalahkan kasihmu.
Lelakiku, mari kemudian bercerita warna
pastel yang berbaur dalam senja. Membentuk lengkungan-lengkungan indah bersama
awan jingga ditemani angin yang bertiup mesra. Wajahmu yang teduh merona di antara bunga
mawar di kebun halaman rumah kita. Menyapaku dengan hangat, menyambut kedatanganku
yang sudah peluh mengejar deadline laporan. Sesekali memijat kakiku
dengan bumbu guyonan yang tak akan kudapati perlakuan seperti itu jika menikah dengan yang
lain. Guyonan garing yang sering
menghantarkan tidurku. Tak cukup sampai disitu, kau juga gemar menyuruhku
bermalas-malasan saat hari libur, melakukan segala bentuk aktifitas yang aku mau. Kau tak gemar
menyambar-nyambar amarah, terlebih membenci, memaki dan membatasi. Dihadapmu, aku
adalah kemerdekaan tanpa batas.
Aku tak akan mudah menyelami pemikiranmu.
Kerelaanmu menanggalkan segala bentuk kontruksi sosial. Lenyap karena
kemerdekaan berpikir untuk kemudian memberikan ruang kemerdekaan untukku. Di tanganmu aku
menyaksikan terputusnya sebuah kutukan
nenek moyang. Tentang perumusan bahwa perempuan hanya berurusan dengan kasur,
sumur dan dapur. Di tanganmu ada kelembutan tanpa mengurangi kehormatan.
Kita gemar berbincang tatkala senja. Di teras rumah
yang kau sendiri setiap hari menatanya. Sesekali sembari mengajariku memetik
gitar untuk sejenak menghiburku dari kepenatan pekerjaan. Sering kita
membicarakan soal mereka, yang telah datang dan pergi diantara kita. Tentang
luka menganga atau kemurkaan yang tak pernah tuntas. Pengkhianatan maupun
takdir Tuhan. Kau selalu yakin bahwa
puncak dari kasih sayang adalah kehilangan, sedang puncak dari ketulusan adalah
mengikhlaskan.
Duhai lelakiku, jika mencintai sosok
sepertimu disebut dosa, maka aku rela berlumur dosa hingga tutup usia. Jika mendambakan sosok sepertimu adalah
racun dalam dendam, maka aku akan mendendam sampai lenyap dan tumbang.”
Begitulah... begitulah yang selalu ingin ku tuliskan padamu
suatu saat nanti. Setiap kalimat itu ku ingat betul dalam akal dan hati.
Sebelum akhirnya sekarang hilang bersama kata. Otak mogok untuk diajak bekerja.
Ditemani gerimis malam sehabis kumandang adzan isya. Aku beku bersama anganku.
Tersisa wajah-wajah lelaki yang sudah berlalu. Datang untuk kemudian pergi
tanpa pamit dan peduli. Menyisakan sepotong sepi untuk tempatku mengadu. Aku
meranggas bersama khayalku. Deretan lelaki yang kesekian ku selami, tak satu
pun mengarah padamu. Aku mulai putus asa, tak hanya sampai di titik nol, aku bahkan telah sampai pada
kata nelangsa. Kemerdekaan hanya
sampai pada dinding angan. Kemerdekaan hanya melekat pada alam pikir. Kemajuan
zaman tak menyudahi ketertindasan pada perempuan—sepertiku.
Tentu aku tak akan menyalahkanmu. Ini bukan
sepenuhnya salahmu. Pun, tak baik menyalahkan keadaan apalagi takdir. Jangan menyeret kata
kesetaraan. Kata mereka itu hanya
semacam dagelan. Anggap saja ini bagian dari pembagian peran. Bahwa aku harus
selalu begini sedang kau memang mestinya begitu. Begini dan begitu masih kurang
ambigu untuk menarasikan garis Tuhan menciptakan Adam dan Hawa. Jangan tempatkan
kata harga diri pada kisah ini, sebab hal itu sudah terlampau sering dikisahkan
dalam cerita-cerita dan drama pengarang sejati.
Terakhir, jajaran-jajaran huruf ini
berujung membentuk harapan. Datanglah, datanglah lelakiku. Yang daripadamu
dapat kusaksikan gugusan-gugusan warna pastel kala senja. Kau adalah senja
terakhir dimataku. Cahaya terakhir sebelum menjelma gelap. Lalu aku akan
terbaring damai dan penuh ketenangan. Bahwa coklat tak selalu tercipta untuk
menenangkanku, namun juga untuk menenangkanmu. Sebagaimana hujan tak hanya
melahirkan aku namun juga kamu. Sebelum akhirnya kita sadari bahwa kita
sama-sama akan tenggelam dalam malam. Lenyap bersama gelap. Kita sama-sama
hanya manusia. Lelakiku.
Lusia Ega A.
Pernah Menjadi Perempuanmu