Ada
kala di suatu sore aku mengomelimu
hingga menangis hanya karena kamu tak mau makan karena sedang sakit. Dan
bodohnya kamu mengira saat itu aku
sedang marah padamu. Padahal, satu-satunya
marahku terjadi karena kekecewaan terhadap diriku sendiri yang gagal
merawatmu di kala sakit. Aku menangis karena aku merasa gagal.
Melihatmu
tergolek lemah bukan kemampuanku. Suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa ibu
ikut menangis ketika anaknya jatuh dan patah tulang. Seorang ibu tidak akan
merasa kasihan pada sakitmu, yang pertama dia lakukan adalah memarahimu karena
keteledoranmu, dan dia menangis karena kekecewaannya pada diri sendiri yang tak
bisa menjagamu. Karena begitulah ibu yang aku punya, dan aku kira semua ibu di
dunia seperti itu. Kalaupun tidak, setidaknya ada satu ibu yang seperti itu,
dan air mata itu yang diajarkan padaku.
Maka
air mataku waktu itu adalah kebencian pada diriku sendiri karena tak bisa menjaga
senyum di wajahmu yang teduh seperti angin pantai.
Dan
pernah suatu saat kau memarahiku karena aku terlalu sibuk mengabaikanmu, kau
pergi lantas menangis memintaku untuk kembali. Aku yakin air matamu bukan
karena kehilanganku, tapi kau sedang menangis oleh perasaan keibuanmu yang
gagal memberikanku pengertian.
Bertemu denganmu adalah seribu kata yang harus aku
rangkai dengan metafora bunga, selalu wangi, dan selalu indah. Dan keputusanmu
untuk pergi pun
masih harus aku namai dengan pelajaran. Karena setiap detik yang kita lewati
adalah keajaiban.
Suatu
sore kamu pernah berkata, aku suatu saat akan pergi karena lelaki lain atau
karena kamu selalu tidak sepaham denganku. Seperti suatu malam kita berdebat
mengenai harus digantungkan pada siapa hubungan kita ini,. Kamu selalu berkata Tuhan adalah adi kuasa atas perjalanan manusia,
sedang aku dengan keras kepala
selalu bilang bahwa satu-satunya urusan Tuhan kepada kita adalah memberi nyawa,
selanjutnya adalah narasi kita. Walaupun akhirnya kamu marah karena aku keras
kepala, tapi ternyata akhirnya kamu mau menerima.
Dan
benar memang, kamu pergi karena kamu akan sempurna bersama orang lain yang punya
visi sama tentang
surga. Kali ini kamu tak menangis sambil pergi, karena kamu sudah tak khawatir.
Kamu yakin bahwa setahun bersamamu
harusnya memberiku banyak keteguhan tentang kehidupan. Dan memberiku tamparan
keras bahwa seharusnya aku
tahu menjadi laki-laki itu harus sekeras batu karena wanita akan selalu
menapaki dunia dengan lirih.
Dan
sebagaimanapun kau mengajarkan padaku
bahwa kemarahan hanyalah kebodohan, aku tetap saja marah.
Aku merasa dunia ku berhenti saat itu juga, kau seperti sedang mengetuk lonceng
kesedihanku. Aku tak akan bilang pengecut padamu walaupun kamu pergi untuk orang
lain tanpa melihat mataku. Karena aku tahu mata keibuanmu tak akan kuat melihat
lelaki bodoh macam aku menangis. Dan kupikir kamu sangat cerdas. Karana memilih
pergi tanpa harus melihatku menangis karena berpisah denganku adalah jalan
kebahagiaanmu. Terimakasih
karena kau tak memberiku iba.
Aku
tak terlalu percaya kehilangan, karena akan selalu ada ruang di otak kita
tentang dia. Kamu memang sudah tak bisa aku usap lagi ketika ada noda saus di
pipimu. Tapi semua tentangmu masih utuh di diriku. Tentang hangatnya pipimu,
pandanganmu yang sayup malu, senyum yang keterlaluan manis, dan hangatnya usap
tanganmu di dahiku, semua masih utuh, utuh di kepalaku.
Aku
memang tak berhak untuk marah padamu karena kebahagiaanmu dengan orang lain.
Tapi aku kira aku berhak marah pada diriku sendiri. Yang terlalu percaya pada
harapan. Seharusnya aku belajar padamu bahwa harapan itu adalah jalan buntu.
Aku harusnya belajar padamu bahwa satu-satunya
harapan adalah detik ini hingga kita tertidur nanti. Karena pagi kita bangun
atau tidak bukan urusan kita. Harusnya aku percaya padamu.
Bukan
salahmu juga jika tiba-tiba
aku harus menangis karena membeli siomay
di Alun-alun Kidul Kota Jogja. Karena kamu telah mengajariku bahwa seharusnya aku belajar melupakan,
tidak selamanya mengingat itu baik. Aku
juga tak pernah menyalahkanmu betapa malunya menangis di tengah-tengah kerumunan hanya
karena kenangan.
Terimakasih
atas ketegasanmu memilih, karena kamu tahu terpasung dalam pilihan adalah
penyiksaan. Terimakasih
karena kamu bahagia bukan untukku. Pun bukan hakku harus memberi standar ‘lelaki layak’ padamu. Tapi yang jelas, dia pasti tak
secengeng aku sehingga kau memilihnya.
Gaung
gema kesedihanku kehilanganmu memang seharusnya sudah meredup. Karena satu-satunya hal yang harus di lakukan oleh
seseorang yang mencintai seseorang adalah melihatnya bahagia.
Semoga
senyummu selalu seramai pasar malam bersamanya.
Ahmadi Gims
Lelaki yang tak pernahberhenti menangis untukmu
Lelaki yang tak pernah