MEMARAHIMU DAN MENANGIS | Ahmadi Gims



Ada kala di suatu sore aku mengomelimu hingga menangis hanya karena kamu tak mau makan karena sedang sakit. Dan bodohnya kamu mengira saat itu aku sedang marah padamu. Padahal, satu-satunya marahku terjadi karena kekecewaan terhadap diriku sendiri yang gagal merawatmu di kala sakit. Aku menangis karena aku merasa gagal.

Melihatmu tergolek lemah bukan kemampuanku. Suatu saat nanti kamu akan tahu kenapa ibu ikut menangis ketika anaknya jatuh dan patah tulang. Seorang ibu tidak akan merasa kasihan pada sakitmu, yang pertama dia lakukan adalah memarahimu karena keteledoranmu, dan dia menangis karena kekecewaannya pada diri sendiri yang tak bisa menjagamu. Karena begitulah ibu yang aku punya, dan aku kira semua ibu di dunia seperti itu. Kalaupun tidak, setidaknya ada satu ibu yang seperti itu, dan air mata itu yang diajarkan padaku.

Maka air mataku waktu itu adalah kebencian pada diriku sendiri karena tak bisa menjaga senyum di wajahmu yang teduh seperti angin pantai.

Dan pernah suatu saat kau memarahiku karena aku terlalu sibuk mengabaikanmu, kau pergi lantas menangis memintaku untuk kembali. Aku yakin air matamu bukan karena kehilanganku, tapi kau sedang menangis oleh perasaan keibuanmu yang gagal memberikanku pengertian.

Bertemu denganmu adalah seribu kata yang harus aku rangkai dengan metafora bunga, selalu wangi, dan selalu indah. Dan keputusanmu untuk pergi pun masih harus aku namai dengan pelajaran. Karena setiap detik yang kita lewati adalah keajaiban.

Suatu sore kamu pernah berkata, aku suatu saat akan pergi karena lelaki lain atau karena kamu selalu tidak sepaham denganku. Seperti suatu malam kita berdebat mengenai harus digantungkan pada siapa hubungan kita ini,. Kamu selalu berkata Tuhan adalah adi kuasa atas perjalanan manusia, sedang aku dengan keras kepala selalu bilang bahwa satu-satunya urusan Tuhan kepada kita adalah memberi nyawa, selanjutnya adalah narasi kita. Walaupun akhirnya kamu marah karena aku keras kepala, tapi ternyata akhirnya kamu mau menerima.

Dan benar memang, kamu pergi karena kamu akan sempurna bersama orang lain yang punya visi sama tentang surga. Kali ini kamu tak menangis sambil pergi, karena kamu sudah tak khawatir. Kamu yakin  bahwa setahun bersamamu harusnya memberiku banyak keteguhan tentang kehidupan. Dan memberiku tamparan keras bahwa seharusnya aku tahu menjadi laki-laki itu harus sekeras batu karena wanita akan selalu menapaki dunia dengan lirih.

Dan sebagaimanapun kau mengajarkan padaku bahwa kemarahan hanyalah kebodohan, aku tetap saja marah. Aku merasa dunia ku berhenti saat itu juga, kau seperti sedang mengetuk lonceng kesedihanku. Aku tak akan bilang pengecut padamu walaupun kamu pergi untuk orang lain tanpa melihat mataku. Karena aku tahu mata keibuanmu tak akan kuat melihat lelaki bodoh macam aku menangis. Dan kupikir kamu sangat cerdas. Karana memilih pergi tanpa harus melihatku menangis karena berpisah denganku adalah jalan kebahagiaanmu. Terimakasih karena kau tak memberiku iba.

Aku tak terlalu percaya kehilangan, karena akan selalu ada ruang di otak kita tentang dia. Kamu memang sudah tak bisa aku usap lagi ketika ada noda saus di pipimu. Tapi semua tentangmu masih utuh di diriku. Tentang hangatnya pipimu, pandanganmu yang sayup malu, senyum yang keterlaluan manis, dan hangatnya usap tanganmu di dahiku, semua masih utuh, utuh di kepalaku.

Aku memang tak berhak untuk marah padamu karena kebahagiaanmu dengan orang lain. Tapi aku kira aku berhak marah pada diriku sendiri. Yang terlalu percaya pada harapan. Seharusnya aku belajar padamu bahwa harapan itu adalah jalan buntu. Aku harusnya belajar padamu bahwa satu-satunya harapan adalah detik ini hingga kita tertidur nanti. Karena pagi kita bangun atau tidak bukan urusan kita. Harusnya aku percaya padamu.

Bukan salahmu juga jika tiba-tiba aku harus menangis karena membeli siomay di Alun-alun Kidul Kota Jogja. Karena kamu telah mengajariku bahwa seharusnya aku belajar melupakan, tidak selamanya mengingat itu baik. Aku juga tak pernah menyalahkanmu betapa malunya menangis di tengah-tengah kerumunan hanya karena kenangan.

Terimakasih atas ketegasanmu memilih, karena kamu tahu terpasung dalam pilihan adalah penyiksaan. Terimakasih karena kamu bahagia bukan untukku. Pun bukan hakku harus memberi standar lelaki layak’ padamu. Tapi yang jelas, dia pasti tak secengeng aku sehingga kau memilihnya.

Gaung gema kesedihanku kehilanganmu memang seharusnya sudah meredup. Karena satu-satunya hal yang harus di lakukan oleh seseorang yang mencintai seseorang adalah melihatnya bahagia.

Semoga senyummu selalu seramai pasar malam bersamanya.

Ahmadi Gims
Lelaki yang tak pernah berhenti menangis untukmu

0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment