PATAH HATI; SEBUAH CINTA ILAHIYAT | Halimah Garnasih


Sifatnya ceria dan riang. Semua yang mengenalnya senantiasa bahagia di sampingnya, turut menikmati hidup lewat tawanya yang selalu terbahak lepas. Kedasih, penari jawa yang bagai bunga. Mewangi dan cerah. Sang Perempuan Fajar.

Aku mengenalnya dari Nh. Dini, sastrawan perempuan yang memiliki kepekaan nilai sastra tinggi nan adiluhung. Tentu saja, perkenalanku dengan Nh. Dini yang lalu mempertemukanku dengan Kedasih bukanlah yang dipercaya dengan istilah ‘kebetulan’. Inilah sinkronisasi hidup. Pola-pola alur kreativitas Tuhan yang Maha Tak Tertebak.

“Kedasih tidak banyak bicara. Juga tidak menangis. Meskipun dadanya sudah penuh padat, dia tidak mampu menemukan kata-kata. Badannya lesu, seolah-olah tulang belulang tiba-tiba dilolosi orang. Tidak ada lagi benda keras yang menyangga ketegakan tubuhnya. Lunglai rasanya.”
Air di mataku juga tak luluh ke pipi saat Nh. Dini menceritakan keadaan Kedasih selanjutnya, ditinggal menikah begitu saja oleh kekasih hati. Karena air mata justru menandakan kekuatan masih tersisa di dada. Di jiwa. Kamu tentu ingat, saat manusia di muka bumi yang paling dicinta oleh Kahlil Gibranibunyameninggal, tak setetes pun air mata mengalir dari pandangan Kahlil Gibran. Penyair kenamaan asal Libanon itu hanya diam. Geming seperti mati, darah tiba-tiba mengucur dari hidung dan mulutnya. Darah!

Apakah bila semua orang berada di posisiku akan geming seperti itu? Ataukah dari Nh. Dini tentang Kedasih adalah sesungguhnya aku sedang melihat diriku sendiri? Oh, mengapa kalimat dada sudah penuh padat tapi tidak menemukan kata-kata dan badan lesu seolah-olah tulang dilolosi hingga lunglai rasanya saat dinarasikan oleh Nh. Dini, aku malah merasa sastrawan perempuan itu sedang menarasikan keadaanku?

“Suara kedasih tiba-tiba menjelma menjadi rintihan keras. Tangisnya kini keluar lepas. Di antara sedu-sedannya yang membikin seluruh badan bergetar itu, dia berusaha berbicara. Dengan tersengal-sengal kalimatnya terputus-putus.”
Oh, akhirnya aku tahu. Kedasih bukanlah aku. Kedasih adalah perempuan lain. Buktinya, dia menangis. Me-na-ngis! Aku dan Kedasih adalah berbeda dalam kesamaan, sekaligus sama dalam kebedaan. Bagaimanapun, aku tahu saat itu Kedasih ‘luka’.

“Kepahitan dan sakit dalam cinta justru merupakan keindahan tersendiri, karena pengalaman dalam cinta tersebut tidak akan pernah ditemuinya dalam dimensi kehidupan yang lain. Justru dengan mengalami kepedihan, sakit, dan mungkin pula kekecewaan—disamping rasa senang dan kebahagiaan—jiwa seseorang akan semakin matang dan tumbuh dewasa.”
Ini untukkumu, Kedasih. Hasil renungan Sang Guru dalam bukunya, Filosofi Cinta Kahlil Gibran. Dan memang benar, Nh. Dini mengisahkanmu kepadaku bahwa kamu akhirnya terbentuk sebagai perempuan yang matang. Kamu, Kedasih yang semakin berkarakter. Dan tiap gerak tarianmu semakin mengeluarkan energi yang kuat. Auramu, auramu, Kedasih! Sungguh pesona .

Bahkan sesungguhnya, pengalamankumu yang lalu itu, memberi kesempatan kepadakumu untuk mengalami persentuhan dengan Tuhan. Dengan cintanya, Garnasih...Kedasih ....

“…..Dalam bentuk apapun engkau merasakan cinta, dalam cara apapun, dalam tingkat apapun, itu adalah suatu bagian yang kecil dari cinta Ilahiyah. Cinta antara laki-laki dan perempuan adalah juga bagian dari cinta Ilahiyah itu. Tetapi terkadang yang dicintai itu menjadi hijab antara cinta dan pengejawantahan dari cinta sejati. Suatu hari ketika hijab itu terangkat, barulah sang kekasih sejati akan nampak dalam suatu Keagungan Ilahiah…..”
Begitu kata Syaikh Mozaffer Ozzak, seorang pemimpin Tarekat Haveti-Jerrahi, dalam buku sang Guru. Barangkali justru lelaki yang bersemayam di hatikumu dan menjadi milik perempuan lain yang tidak dikenalnya karena sebuah perjodohan itu sesungguhnya adalah hijab antara akukamu dan Tuhan, Sang Cinta Sejati. Dan Tuhan tidak mau ada hijab antara kamu dan diri-Nya, Garnasih, Kedasih!

Ah, tapi tidak ada salahnya bukan, Kedasih seandainya akukamu mengirim suatu hadiah beserta sepucuk  surat di hari pernikahannya. Sebagaimana pula cincin dan surat yang dikirimkan Majnun dalam pesta pernikahan Laila .

“….janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu: Laila.”
Sambil diam-diam, mengharapkan mantan calon lelakikumu itu ternyata mengirim surat balasan yang membuatku (sengaja tidak dicoret) semakin ingin mengucapkan: “Jatuh cinta sekaligus patah hati kepadamu, sungguh sangat bermanfaat dalam hidupku. Terimakasih telah tidak menikahiku.”

Begini jawaban Laila yang mungkin semakin membuat Majnun terbakar dalam api cinta:

“Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapa pun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia. Aku terbakar dalam diriku sendiri, sementara engkau membakar segala yang ada di sekitarmu. Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku Kekasih, mana di antara kita yag lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku!”
Kedasih, marilah akukamu belajar dari Laila. Yang mencintai dengan tak ada batas. Sebagaimana yang dikatakan Kahlil Gibran:

“Cinta yang terbatas mencari kepemilikan dari orang yang dicintai, namun cinta yang tak terbatas hanya mencari dirinya”
Biarlah dia menikah dan dimiliki perempuan itu. Biarlah cinta ini dengan bijak mencari dirinya sendiri. Sendiri ….

“Berani sendiri itu baik, tapi tetep sepi, sih….” tiba-tiba seorang lelaki dengan perut tambun nyeletuk di malam renunganku. Jambrut, ternyata si bujang lapuk, Mas Dub!


Catatan: kutipan-kutipan diambil dari dua buku. Novel Nh. Dini berjudul “Tirai Menurun” dan buku “Filosofi Cinta Kahlil Gibran” karya Fachruddin Faiz.


Halimah Garnasih:
Pernah patah hati, tapi segera sadar bahwa begitulah cara Tuhan cemburu. Sedang bergegas kembali ke pelukan-Nya(bukan mati lo ya).

0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment