Sifatnya ceria dan riang. Semua yang mengenalnya
senantiasa bahagia di sampingnya, turut menikmati hidup lewat
tawanya yang selalu terbahak lepas. Kedasih, penari jawa yang bagai bunga.
Mewangi dan cerah. Sang Perempuan Fajar.
Aku mengenalnya dari Nh. Dini, sastrawan perempuan yang memiliki
kepekaan nilai sastra tinggi nan adiluhung. Tentu saja, perkenalanku dengan Nh. Dini yang lalu mempertemukanku dengan Kedasih
bukanlah yang dipercaya dengan istilah ‘kebetulan’. Inilah sinkronisasi hidup.
Pola-pola alur kreativitas Tuhan yang Maha Tak Tertebak.
“Kedasih
tidak banyak bicara. Juga tidak menangis. Meskipun dadanya sudah penuh padat,
dia tidak mampu menemukan kata-kata. Badannya lesu, seolah-olah tulang belulang
tiba-tiba dilolosi orang. Tidak ada lagi benda keras yang menyangga ketegakan
tubuhnya. Lunglai rasanya.”
Air di mataku juga tak luluh ke pipi saat Nh. Dini menceritakan keadaan Kedasih
selanjutnya, ditinggal menikah begitu saja oleh kekasih hati. Karena air mata
justru menandakan kekuatan masih tersisa di dada. Di jiwa. Kamu tentu ingat, saat manusia di muka
bumi yang paling dicinta oleh Kahlil Gibran—ibunya—meninggal, tak setetes pun air mata mengalir
dari pandangan Kahlil Gibran. Penyair kenamaan asal Libanon itu hanya diam.
Geming seperti mati, darah tiba-tiba mengucur dari hidung dan mulutnya. Darah!
Apakah bila semua orang berada di posisiku akan geming seperti itu?
Ataukah dari Nh. Dini tentang Kedasih adalah sesungguhnya aku
sedang melihat diriku sendiri? Oh, mengapa kalimat dada sudah penuh padat tapi tidak menemukan kata-kata dan badan lesu seolah-olah tulang dilolosi
hingga lunglai rasanya saat dinarasikan oleh Nh. Dini, aku malah merasa sastrawan perempuan
itu sedang menarasikan keadaanku?
“Suara
kedasih tiba-tiba menjelma menjadi rintihan keras. Tangisnya kini keluar lepas.
Di antara sedu-sedannya yang membikin seluruh badan bergetar itu, dia berusaha
berbicara. Dengan tersengal-sengal kalimatnya terputus-putus.”
Oh, akhirnya aku tahu. Kedasih bukanlah aku.
Kedasih adalah perempuan lain. Buktinya, dia menangis. Me-na-ngis! Aku dan
Kedasih adalah berbeda dalam kesamaan, sekaligus sama dalam
kebedaan. Bagaimanapun, aku tahu saat itu Kedasih ‘luka’.
“Kepahitan
dan sakit dalam cinta justru merupakan keindahan tersendiri, karena pengalaman
dalam cinta tersebut tidak akan pernah ditemuinya dalam dimensi kehidupan yang
lain. Justru dengan mengalami kepedihan, sakit, dan mungkin pula
kekecewaan—disamping rasa senang dan kebahagiaan—jiwa seseorang akan semakin
matang dan tumbuh dewasa.”
Ini untukkumu, Kedasih. Hasil renungan
Sang Guru dalam bukunya, Filosofi Cinta Kahlil Gibran. Dan memang benar, Nh. Dini mengisahkanmu kepadaku bahwa kamu
akhirnya terbentuk sebagai perempuan yang matang. Kamu, Kedasih yang semakin
berkarakter. Dan tiap gerak tarianmu semakin mengeluarkan energi yang kuat.
Auramu, auramu, Kedasih! Sungguh pesona ….
Bahkan sesungguhnya, pengalamankumu
yang lalu itu, memberi kesempatan kepadakumu untuk mengalami persentuhan
dengan Tuhan. Dengan cintanya, Garnasih...Kedasih ....
“…..Dalam
bentuk apapun engkau merasakan cinta, dalam cara apapun, dalam tingkat apapun,
itu adalah suatu bagian yang kecil dari cinta Ilahiyah. Cinta antara laki-laki
dan perempuan adalah juga bagian dari cinta Ilahiyah itu. Tetapi terkadang yang
dicintai itu menjadi hijab antara cinta dan pengejawantahan dari cinta sejati.
Suatu hari ketika hijab itu terangkat, barulah sang kekasih sejati akan nampak
dalam suatu Keagungan Ilahiah…..”
Begitu kata Syaikh Mozaffer Ozzak, seorang
pemimpin Tarekat Haveti-Jerrahi, dalam buku sang Guru. Barangkali justru lelaki
yang bersemayam di hatikumu dan menjadi milik perempuan lain yang tidak
dikenalnya karena sebuah perjodohan itu sesungguhnya adalah hijab antara akukamu
dan Tuhan, Sang Cinta Sejati. Dan Tuhan tidak mau ada hijab antara kamu dan
diri-Nya, Garnasih, Kedasih!
Ah, tapi tidak ada salahnya bukan, Kedasih
seandainya akukamu mengirim suatu hadiah beserta sepucuk surat di hari pernikahannya. Sebagaimana pula
cincin dan surat yang dikirimkan Majnun dalam pesta pernikahan Laila ….
“….janganlah pernah lupa bahwa
ada seseorang yang meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan
memanggil-manggil namamu: Laila.”
Sambil diam-diam, mengharapkan mantan calon lelakikumu
itu ternyata mengirim surat balasan yang membuatku (sengaja tidak dicoret)
semakin ingin mengucapkan: “Jatuh cinta
sekaligus patah hati kepadamu, sungguh sangat bermanfaat dalam hidupku.
Terimakasih telah tidak menikahiku.”
Begini
jawaban Laila yang mungkin semakin membuat Majnun terbakar dalam api cinta:
“Dalam
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku
demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapa pun. Engkau memaklumkan
cintamu ke seluruh dunia. Aku terbakar dalam diriku sendiri, sementara engkau
membakar segala yang ada di sekitarmu. Kini, aku harus menghabiskan hidupku
dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku
Kekasih, mana di antara kita yag lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku!”
Kedasih,
marilah akukamu belajar dari Laila. Yang mencintai dengan tak ada batas.
Sebagaimana yang dikatakan Kahlil Gibran:
“Cinta yang
terbatas mencari kepemilikan dari orang yang dicintai, namun cinta yang tak terbatas
hanya mencari dirinya”
Biarlah dia
menikah dan dimiliki perempuan itu. Biarlah cinta ini dengan bijak
mencari dirinya sendiri. Sendiri ….
“Berani sendiri itu baik, tapi tetep sepi, sih….” tiba-tiba seorang lelaki dengan perut tambun
nyeletuk di malam renunganku. Jambrut,
ternyata si bujang lapuk, Mas Dub!
Catatan: kutipan-kutipan diambil
dari dua buku. Novel Nh. Dini berjudul “Tirai Menurun” dan buku “Filosofi Cinta Kahlil
Gibran” karya Fachruddin Faiz.
Halimah Garnasih:
Pernah patah hati, tapi segera sadar bahwa
begitulah cara Tuhan cemburu. Sedang bergegas kembali ke pelukan-Nya(bukan mati
lo ya).