![]() |
Photo from : pixabay.com/ |
.
Untukmu yang tersembunyi dalam
karangku. Yang tak pernah
tersentuh oleh jemari nyataku. Yang
gemar menculik malam-malamku. Yang
bersandar di dinding mimpi untuk sekedar mengetuk pintu hati yang kian usang
dimakan penantian. Yang meranggas
dimakan angan dan harapan.
Aku
awali semuanya dengan mengucap syukur pada Allah, Tuhan semesta alam yang
dengan segala ridho dan rahmat-Nya telah menciptakan sepotong hati penuh cinta
lengkap dengan laranya. Begitupun baiknya engkau sebut nama-Nya yang Maha
Pengasih dan Penyayang sebagaimana engkau yang kini mulai aku sayang. Iya,
kamu.
Mengenangmu adalah candu.
Merindumu adalah anggur yang membuat siapapun merasakan kenikmatan saat
meminumnya meski harus mabuk setelahnya. Mencintaimu layaknya udara yang
memberikanku kehidupan setiap harinya.
Tenanglah,
aku sudah menyimpannya rapat-rapat sebelumnya. Aku pun pernah menyembunyikannya
jauh di relung yang tak terjamah sebelum takdir memperkenankan aku menyapamu,
melalui secangkir kopi tanpa gula. Untuk beberapa hal kita memang sama, tidak
menyukai pemanis pada sesuatu yang memang sudah dikodratkan pahit. Tak kusangka
sepahit rinduku padamu. Terlalu berbelit-belit? Sederhananya, aku memendam rasa
rindu padamu sedang semua itu belum tentu kamu rasakan juga.
Sejak
dahulu, sedari aku baru diperkenalkan legenda dan kisah asmara raja-raja hingga
kini merasakan sendiri daya asmara seperti dalam cerita itu, aku selalu
memahami cinta adalah sebuah molekul tanpa wujud yang banyak menawarkan
benih-benih bahagia. Begitupun aku tahu bahwa rindu adalah bumbu-bumbu manis
dari cinta. Kupikir mencintai dan dicintai, merindu serta dirindukan adalah
kebebasan mutlak setiap insan. Tapi kali ini kurasa tidak. Tidak pula tentang
kedua pemahaman rindu dan cinta. Mari fokus pada yang kedua, tentang rindu bukan
cinta. Sebab cinta diantara kita tidak untuk dibicarakan namun untuk dirasakan.
Bukan begitu, manisku?
“Merindu
dan dirindukan” adalah dua kata yang berasal dari rumpun yang sama namun beda
makna. Kata kedua—lagi-lagi tentang yang kedua—lebih dianggap beruntung.
Ketimbang yang pertama namun dikeduakan, eh.
Maka aku tidaklah bagian yang kedua. Manisku, saat sejak kau tuang anggur rindu
itu pada cawan hatiku, aku adalah pengikutmu. Budak dari rindu yang semakin
menjadi candu. Setiap hari harus kurelakan wajahku lebam ditampar-tampar malam.
Sebab dalam malam bayangmu semakin menjadi melodi yang menusuk sukma.
Sementara
wajah kekasihmu adalah gelap yang menjeratku. Merampas apapun yang aku inginkan darimu. Ia adalah pekat
yang kukutuk, namun kau adalah bagian dari pekat itu, maka aku urungkan niat untuk mengutuk. Hanya sunyi rela
menjadi kawan sejati, sekedar untuk melampiaskan segala gundahku. Sampai disini
kamu mengerti, manisku?
Melalui
guratan pena, tak banyak yang aku
pinta selain hanya ingin mengajakmu bernostalgia. Kuharap kamu tetap ingat pada
’malam itu’, saat dimana kita sama-sama dilumpuhkan malam. Pada sebuah tragedi
yang tentu tidak tanpa kita sengaja. Kala itu anganmu dan anganku saling
beradu. Menyingkap semua tirai dusta. Kamu menerjang dan tangkap. Aku mengadu
kita beradu. Malam semakin gelisah menyaksikan mulut yang saling berimpitan
dengan kejujuran. Di sebuah ruang yang tak terlalu luas namun juga tak sempit.
Sebab aku tak pernah tau seberapa luas kamarmu, begitupun aku tak pernah
mengukur sempitnya kamarku saat bayangmu menerpa. Suara parau yang terdengar
dari ponsel genggamku, dan ternyata benar-benar
hanya suaramu yang nyata dalam peluk. Sangat pelan dan begitu tenang kamu
mengutarakan rasamu, aku mengutarakan rasaku. Malam semakin panjang. Khayal
terlentang tak berdaya di atas ranjang. Seketika kita cumbui cinta dan lara.
Secara bersamaan. Dalam tempo yang berseimbang, kesemuanya menggiring kita pada
ruangan baru. Keterjebakan.
Telah
kita lewati sepertiga malam yang tenang. Disaksikan Tuhan yang turun di langit
bumi. Kita telah lolos terjebak dalam keterjebakan itu. Berakhir dengan
hembusan nafas seirama dengan hembusan angin yang kian dingin. Subuh beku
bersama lukaku. Lukamu. Luka kita. Demi kamunya kamu. Demi kamunya aku. Demi
dia. Demi mereka. Demi semuanya, kecuali kita. Dada yang sempat teredam,
mendadak menganga. Panas meranggas. Menampar, melempar, membakar, terkapar
mengubahnya menjadi abu kemudian debu. Ketidakberdayaan menguasai. Aku tak
senekat pikirku. Kamu tak seberani pikirmu. Kita sama-sama pecundang yang
mencoba tidak berdusta. Itu saja.
Maka
syukurilah kesemuanya ini. Sebab ada dan tidaknya kebahagiaan diukur dari kadar
syukur. Aku bahagia melihat kebahagiaanmu bersama dia—yang jelas ini sebuah
omong kosong belaka—melewati waktu demi waktu. Masa demi masa. Dan entah sampai
kapan dan dimana. Hanya satu yang aku tahu, bahwa aku tak akan mencoba mendaki
pagar baja yang ada dihalaman kerajaanmu, yang di dalamnya telah kamu simpan
jutaan prajurit dari masa lalu. Tak akan lagi aku mendekatinya. Aku berlari
mundur bersama pasukanku yang sebelumnya berusaha membunuh prajurit yang telah
lama memenjarakanmu.
Tapi
sayangnya, kamu—yang tak seberani pikirmu—juga tak cukup punya niat untuk
memerangi masa lalu. Kamu makan dan tidur dengan baik di dalam sana sementara
setiap pagi kudapati rintihan tangismu dari sang angin. Aku tak akan menjadi
Laila Majnun—dalam sudut pandangku—yang dengan cintanya mereka menderita.
Tenanglah di dalam sana. Aku akan selalu mengintaimu dari teropong menaraku.
Kamu boleh menutup rapat-rapat kerajaanmu. Tapi satu yanh harus kamu tahu, aku
juga berhak atas kerajaan cintaku. Yang mana di dalamnya akan selalu bersemi
hamparan bunga-bunga rindu, tak layu oleh waktu. Kecuali Tuhan sendiri yang
mengirim ajimat untuk memusnahkannya. Aku akan mengutus para pekebun yang setia
menyirami bunga-bunga itu dengan air ketulusan. Hingga aku tak mampu
membayarnya dengan nyawa.
Lusia
Ega Andriana
Penggenggam
Bara Api Rindu yang Selalu Diduakan.