Dik, sudah pernah kukatakan sebelumnya perihal sembilu temu dan rindu. Keduanya, Dik, adalah kembar siam yang sewaktu-waktu kan menghujammu habis-habisan...
Mari santap dulu sepotong roti yang tersaji di hadapanmu.
... Pertemuan, Dik, memang renyah dan menyenangkan. Menyantap menu pagi dengan sebuah pertemuan puitis adalah rindu yang didamba sya'ir kita. Pertemuan selalu dicumbu gurat takdir, menelurkan kemungkinan yang kita rumahkan dalam sebuah puisi panjang.
Ya, ya, bagi pekerja kata seperti kau, pasti mulai ingin diakad temu dan rindu. Minumlah dulu, Dik, nanti kau tersedak.
... Namun, Dik, bila suatu saat pertemuan beralih tafsir menjadi tikaman biru di sekujur tubuhmu, ketahuilah, kau sedang rindu pertemuan lain. Rindumu sekarat hampir tamat. Rindumu tidak bahagia dan berniat mengabdi pada dada yang lain...
Apa-apaan dengan garis dan sinar matamu itu? Tenanglah. Kupaslah beberapa pisang, setelah itu kau boleh pulang.
... Aku sering berpikir, jika menjadi pekerja kata harus lekat dengan perih yang pekat setiap saat, untuk kau, pekerjaan ini terlalu berat. Berhentilah menghamba aksara, Dik. Lebih baik melacur saja. Bersenang-senanglah selagi kau muda. Itu lebih baik daripada kelak, kau lacuri kata-katamu; suami yang sudah kau nikahi beberapa tahun lalu.
Jadi begitu, Dik. Pisangmu sudah habis, kau boleh pulang sekarang. Sampaikan rinduku pada sendu Surabaya. Katakan padanya, rinduku tak pernah lunas.
Afif Zamroni HR
yang bebal menyoal rindu.
yang bebal menyoal rindu.