AIR MATAMU YANG TAK MENEMU MUARA | M Toyu Aradana


Pada dasarnya telah tumbuh kemarahan-kemarahan kecil di hatimu yang syahdu memendam segala resah. Kemarahan-kemarahan kecil itu tumbuh beranak pinak sebagaimana rambutmu yang tumbuh subur bercabang. Segala shampoo dan obat rambut telah kau usapkan dan kau gunakan untuk menghentikan laju pertumbuhan yang sangat amat cepat tanpa kau sadari. Bukan hanya pada rambutmu, pada bulu ketiakmu yang mengeringpun, tetap ada kesuburan. Kemarahan itu melecit bersama aroma ketiakmu yang bulunya melambai-lambai dan bercucuran keringat darinya.

Lalu apa kau tidak kasihan pada tutup botol yang setiap hari terlempar dari alat pembukanya? Tutup botol itu menyimpan kemarahanmu, terbawa pada tumpukan-tumpukan sampah. Apa kau tidak kasihan pada gulungan register yang berwarna coklat yang juga menyimpan kemarahanmu? juga pada sedotan-sedotan yang membantu menghisap keresahan-keresahan, kerumitan-kerumitan yang kau simpan rapat-rapat itu.
Pada dasarnya keresahanmu telah mengental, menggumpal dalam dinding freezer. Lalu dengan segala taktik dan strategi, kau mencoba membersihkan freezer itu dengan segala sengatan bisa yang kau miliki. Tapi ia terlampu menggumpal, terlalu beku. Kau pun terpaku tak percaya. Bahwa ada peristiwa kesenyapan yang diam-diam menyadap setiap lintasan keresahan yang kau sembunyikan.

Dari sanalah tumbuh kemarahan-kemarahan kecil yang beranak-pinak. Semuanya tanpak diam. Mereka semua seperti tidak tahu, tidak mau tahu, padahal mereka diam, tersedu membantu meneteskan air matamu secara diam-diam pula. Kau terkadang tersenyum. Namun cukup berat.

Terkadang pula, kau kaget pada aliran arus sungai air matamu yang linglung. Jalan air matamu yang lika-liku, sampai ia tak tahu hendak menuju muara mana. Air matamu sempat tersesat di tepian bibirmu. Kau merasakannya begitu getir, asem dan penuh pasir-pasir keresahan, pasir-pasir kemarahan. Kau sempat terkejut dengan rasa manis yang tercecap sebentar, namun itu jauh, sangat jauh, setelah kau rehat sejenak dalam tepian waktu. Kau seperti tak percaya, masih ada manis dalam air matamu yang jalan mengalirnya sangat linglung tak tahu menuju muara mana.

Kau lapar. Tapi tak kau sadari. Kau lelah. Tapi tak kau sadari kelelahan yang terus menumpuk. Pada dasarnya kau sangat membutuhkan suapan nasi atau bahkan bubur. Dari lubuk pikiranmu, dari kedalaman jiwamu yang paling agung kau mengharapkan kedatangan koboy berjas putih, dengan dasi merah dan menunggangi kuda hitam lalu menjemputmu di tebing kecemasanmu. Kau memang menunggu. Tapi saat seseorang yang nyaris menyerupai koboy itu datang, ia tak seperti yang kau harapkan. Hal yang membuatmu tak mampu menerimanya adalah caranya datang yang datang dari arah yang berlawanan dari arah mata angin yang berdesir di selangkangan waktu. Desir-desir angin yang biasa membelaimu berdesir dari angin barat, kau tak percaya, akal ma’rifatmu tak sanggup membedah, mengapa ia datang, mengapa seperti itu yang datang, kau tak terima pada jejak-jejak kakimu yang telah menceritakan semuanya. Kau berharap hujan-hujanlah yang dapat menghapus jejak-jejak kakimu, tapi sayang, koboy buta dapat mencium aroma kakimu dan dapat membaca garis-garis pada jejak kakimu yang pula meninggalkan sebentuk keresahanmu.

Kau berada di tebing kecemasan. Kau menunggu pertolongan pada kecemasanmu. Tapi kau terlampau banyak berfikir. Terlampau banyak mempertanyakan bagaimana jika dan bagaimana jika semua itu lebih sangat amat tidak sesuai dengan harapan, bahkan kau merasa telah dikucilkan sebelum melangkahnya. Dunia-dunia seakan-akan telah mengucilkanmu. Kau sungguh memikirkan masa depanmu.

Kau sangat membutuhkan sandaran empuk. Tulang-belulang sekalipun ingin kau jadikan sandaran. Tapi tulang-belulang macam apa, kau sendiri bingung, kau sendiri tak tahu. Bingung memberikan pengertian pada kebutuhanmu sendiri. Dalam hal ini kau tak tahu akan berkiblat pada siapa. Akan berkiblat pada apa. Kau seperti tak mampu mendifinisakan kebahagiaan yang hendak kau cari.

Otakmu terus berpikir mengendalikan kecemasan, memutarnya menjadi sebungkus kebahagiaan-kebahagiaan kecil, yang bungkusnya sangat tipis, sehingga keresahan-kemarahan-kelelahanmu merembes, menjadi bau apek, yang semua orang sudah tak nyaman jika mencium aromamu. Kau merasa biasa saja. Orang-orang merasa tak memikirkanmu. Itu menurut prediksimu. Tapi orang-orang telah merasa kasihan pada dirimu, juga terkadang kurang nyaman melihatmu, meski tidak memperlihatkan kerisihannya. Mereka diam. Sebab mereka terlampau kasihan pada keresahan-kemarahan-kelelahanmu yang tumbuh subur beranak-pinak di sekujur tubuhmu. Masihkah kau tak sadar bahwa air matamu linglung menuju muara mana?

M Toyu Aradana
Tukang rebus Sup Air Mata

0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment