![]() |
I
Sebuah
kekosongan. Hidup dengan ritme yang itu-itu saja, memiliki ketenangan dan
kenyamanan yang ampuh. Meski membosankan. Itulah sebabnya kita akan selalu
mencari hal yang baru. Orang baru. Membuat sejumput ketenangan terganggu oleh rasa penasaran. Ajaibnya,
sekian detik lalu kita masih nyaman di zona ketidaktahuan, sekarang dihadapkan
dengan perkenalan terhadap orang yang tak pernah dikenal sebelumnya.
“Aku
sangat senang bertemu orang-orang baru. Sangat senang, karena bisa melihat
sudut pandang lain, yang baru. Kemudian ada karakter baru yang harus kuketahui.
Ini semacam pengalaman, yang tidak harus aku alami sendiri. Namun bisa kuambil
hikmahnya.”
“Lalu
yang lama dilupakan?”
“Tentu
tidak. Yang lama sudah menjadi bagian diri, sedangkan yang baru, saatnya
mempelajari seluk beluknya.”
“Hei,
aku bukan anatomi tubuh yang kaupelajari di kuliahmu. Aku menawarkan diriku
untuk menjadi bukan orang asing lagi bagimu.”
Asing.
Kita tidak pernah tahu seberapa asing, sampai sang objek memunculkan dirinya
sendiri di hadapan kita, dan dimulailah pergulatan emosi. Yang tidak tahu
apa-apa menjadi menghapal wajah, menyebutkan nama, bercerita sedikit demi
sedikit. Pertanyaan legendaris dari Dunia Sophie “siapakah kamu?” perlahan
mulai terkuak. Orang asing muncul dari ketiadaan menjadi ada. Menjadi kamu.
Sekarang
aku memikirkanmu. Kamu yang dulu entah siapa.
II
![]() |
Photo by Joshua Ness on Unsplash |
“Mau
ngopi?”
Astaga.
Ngopi katanya. Cuma berdua. Dan kira-kira apa yang akan dibicarakan dua orang
asing yang tak lagi asing di depan secangkir kopi, yang mungkin akan dingin
karena berjam-jam tak disentuh? Dalam ngopi kita seringkali melupakan kopi itu
sendiri, karena yang begitu besar adalah siapa yang duduk di hadapan kita.
“Sudah
bosan chatting ya?”
“Tentu
saja. Waktuku tidak banyak tersita untuk chatting, dan apa yang kau ketikkan
dalam pesanmu tidaklah begitu representatif. Aku suka melihat ekspresifmu, gaya
bicaramu, nada suaramu, argumenmu yang berapi-api secara langsung. Dan semuanya
tidak melelahkan, hanya indah.”
Pujian
pertama. Sepertinya aku lupa rasanya dipuji. Dan apa untungnya dipuji orang
yang baru saja dikenal? Sangat beruntung, kataku. Karena kesan pertama yang
ditampilkan berhasil mempesona orang lain. Namun, siapa yang sesungguhnya
terpesona? Aku yang segera mengiyakan ajakan ngopinya, atau dia yang sudah 15
menit duduk di bangku cafe itu, menungguku yang telat?
“Pesanlah
apapun. Kopi, green tea, atau desert. Kita punya banyak waktu. Ah, maksudku,
makanan itu menambah durasi waktu kita yang tak banyak.”
Memang
kamu benar. Bahwa percakapan tanpa ada fitur keyboard, touch screen dan emoticon,
sangat menyenangkan. Aku dengan cepat menghapal garis wajahmu sementara kamu
asyik bercerita, dengan sedikit tawa yang membuat keriput di pelipis kiri
kananmu. Tak pernah terbayangkan bukan, bagaimana takdir menyentuh kita seujung
kuku saja. Di persimpangan jalan pertama aku belum mengenalmu, di simpang
berikutnya kamu duduk di depanku, mendengarkan semua ocehan yang mengalir bagai
orang kehausan.
Kopi
tandas. Desert habis. Dan kita pulang. Namun tidak benar-benar pulang. Aku
masih tertinggal di kepalamu. Sebab aku bangun tengah malam dari tidur dan
mendapati pesan.
“Sorry
for bothering. I think I like you.”
III
Tetapi
perasaan suka tidak pernah sesederhana diucapkannya. Ada semacam tuntutan akan
identitas suka itu sendiri. Sebab suka, sangat cair, sangat multitafsir, di
sisi lain juga sangat membangkitkan harapan. Namun juga sangat bias, karena
sama seperti semua hal di dunia, yang sangat dinamis, perasaan suka pun
demikian. Dia bergerak cepat, berubah cepat, berkelindan dalam pusaran
ketidakjelasan: apakah aku ingin dimiliki dengan rasa sukamu itu, atau tidak?
“Terlalu
cepat untuk mengatakan bahwa itu cinta. Bahkan, ketika kamu merasa mencintai
seseorang, bisa jadi itu hanya ilusi kagum.”
Hanya
saja, pertemuan selanjutnya, aku semakin dalam terhisap pada pusaran bola
matamu. Dengan itu, aku memahami cara sudut pandangmu. Dan aku ingin memiliki
seluruh warna tawa, nada suara, gerakan tangan dan tubuh, serta argumenmu yang
membuat tercengang itu. Apakah itu ilusi? It
is so a fucking real!
Tidak
pernah ada kenyataan bagimu, kecuali kenyataan itu sendiri. Yang sangat dinamis
dan berputar cepat di pusaran hidup. Bahwa rasa penasaran yang selesai karena
bahasa tubuh sang objek yang begitu mudahnya terbaca, membuat tidak penting
lagi lapisan demi lapisan yang dulu pernah kita singkap bersama. Selapis
tentang aku, selapis tentang kamu. Dan tidak pernah ada “kita”.
Konsekuensinya,
kamu datang sebentar untuk pergi dalam waktu yang lama. Dan apa makna kata suka
yang tersampaikan kemarin? Ilusi, bukan? Dan aku memikirkanmu sepanjang waktu,
menebak-nebak namun tidak berani menyampaikan. Dalam hal ini, aku selalu
menyesali, ah kenapa aku lahir sebagai perempuan?
Kopi
dan desert di atas meja itu sudah
dingin. Aku merenung memandang ke bangku di depanku. Tidak ada siapa-siapa.
Cuma kenangan, melintas tajam. Singkat, namun menggores luka dalam. Seluruh
ruangan penuh dengan aroma perasaan ditinggalkan.
IV
![]() |
Photo by Volkan Olmez on Unsplash |
Tidak
pernah ada yang benar-benar kosong setelah bersinggungan dengan sesuatu,
meskipun ia pergi, menghilang, maupun tak kembali. Satu detik peristiwa adalah
kenangan yang bertahan ribuan tahun lamanya. Dan itulah yang membuat selalu ada
keterhubungan tak terjelaskan, dari orang yang bahkan kini menjadi asing.
“Siapa
kamu?”
Ah,
setelah seluruh dinamika itu, aku menjadi tidak lagi mengenalmu. Kamu kembali
menjadi asing. Tidak bisa lagi kujangkau, kuprediksi, bahkan kuintervensi.
Sesekali kamu menyapa namun yang terngiang dalam kepalaku: siapakah kamu?
Samakah kamu dengan orang yang dulu mengajak berkenalan, kerap melantunkan
pujian, dan manis terhadap perempuan?
Ritme
kita kembali seperti dulu. Tidak bisa dipertemukan lagi. Takdir menyentuhkan
kita kembali ke posisi semula, di simpang ini aku dengan aktivitasku, di
simpang sana kau dengan sibukmu. Namun tidak pernah benar-benar ada yang
sebenar-benarnya kosong, putih bersih, seperti sebelum kita bertemu. Kamu masih
selalu tertinggal dalam kepalaku.
Meski
asing.
Lamat-lamat,
terdengar suara syahdu Seal menyanyikan Kiss from A Rose “The more I got you,
stranger it feels......”
Ria
Fitriani
Bukan siapa-siapa lagi untukmu
Photo by Asaf R on Unsplash
|