EMPAT BABAK TENTANG KEMBALI KE AWAL | Ria Fitriani

Photo by Asaf R on Unsplash


I

Sebuah kekosongan. Hidup dengan ritme yang itu-itu saja, memiliki ketenangan dan kenyamanan yang ampuh. Meski membosankan. Itulah sebabnya kita akan selalu mencari hal yang baru. Orang baru. Membuat  sejumput ketenangan  terganggu oleh rasa penasaran. Ajaibnya, sekian detik lalu kita masih nyaman di zona ketidaktahuan, sekarang dihadapkan dengan perkenalan terhadap orang yang tak pernah dikenal sebelumnya.

“Aku sangat senang bertemu orang-orang baru. Sangat senang, karena bisa melihat sudut pandang lain, yang baru. Kemudian ada karakter baru yang harus kuketahui. Ini semacam pengalaman, yang tidak harus aku alami sendiri. Namun bisa kuambil hikmahnya.”

“Lalu yang lama dilupakan?”

“Tentu tidak. Yang lama sudah menjadi bagian diri, sedangkan yang baru, saatnya mempelajari seluk beluknya.”

“Hei, aku bukan anatomi tubuh yang kaupelajari di kuliahmu. Aku menawarkan diriku untuk menjadi bukan orang asing lagi bagimu.”

Asing. Kita tidak pernah tahu seberapa asing, sampai sang objek memunculkan dirinya sendiri di hadapan kita, dan dimulailah pergulatan emosi. Yang tidak tahu apa-apa menjadi menghapal wajah, menyebutkan nama, bercerita sedikit demi sedikit. Pertanyaan legendaris dari Dunia Sophie “siapakah kamu?” perlahan mulai terkuak. Orang asing muncul dari ketiadaan menjadi ada. Menjadi kamu.

Sekarang aku memikirkanmu. Kamu yang dulu entah siapa.

II
Photo by Joshua Ness on Unsplash
Photo by Joshua Ness on Unsplash

“Mau ngopi?”

Astaga. Ngopi katanya. Cuma berdua. Dan kira-kira apa yang akan dibicarakan dua orang asing yang tak lagi asing di depan secangkir kopi, yang mungkin akan dingin karena berjam-jam tak disentuh? Dalam ngopi kita seringkali melupakan kopi itu sendiri, karena yang begitu besar adalah siapa yang duduk di hadapan kita.

“Sudah bosan chatting ya?”

“Tentu saja. Waktuku tidak banyak tersita untuk chatting, dan apa yang kau ketikkan dalam pesanmu tidaklah begitu representatif. Aku suka melihat ekspresifmu, gaya bicaramu, nada suaramu, argumenmu yang berapi-api secara langsung. Dan semuanya tidak melelahkan, hanya indah.”

Pujian pertama. Sepertinya aku lupa rasanya dipuji. Dan apa untungnya dipuji orang yang baru saja dikenal? Sangat beruntung, kataku. Karena kesan pertama yang ditampilkan berhasil mempesona orang lain. Namun, siapa yang sesungguhnya terpesona? Aku yang segera mengiyakan ajakan ngopinya, atau dia yang sudah 15 menit duduk di bangku cafe itu, menungguku yang telat?

“Pesanlah apapun. Kopi, green tea, atau desert. Kita punya banyak waktu. Ah, maksudku, makanan itu menambah durasi waktu kita yang tak banyak.”

Memang kamu benar. Bahwa percakapan tanpa ada fitur keyboard, touch screen dan emoticon, sangat menyenangkan. Aku dengan cepat menghapal garis wajahmu sementara kamu asyik bercerita, dengan sedikit tawa yang membuat keriput di pelipis kiri kananmu. Tak pernah terbayangkan bukan, bagaimana takdir menyentuh kita seujung kuku saja. Di persimpangan jalan pertama aku belum mengenalmu, di simpang berikutnya kamu duduk di depanku, mendengarkan semua ocehan yang mengalir bagai orang kehausan.

Kopi tandas. Desert habis. Dan kita pulang. Namun tidak benar-benar pulang. Aku masih tertinggal di kepalamu. Sebab aku bangun tengah malam dari tidur dan mendapati pesan.

“Sorry for bothering. I think I like you.”

III

Tetapi perasaan suka tidak pernah sesederhana diucapkannya. Ada semacam tuntutan akan identitas suka itu sendiri. Sebab suka, sangat cair, sangat multitafsir, di sisi lain juga sangat membangkitkan harapan. Namun juga sangat bias, karena sama seperti semua hal di dunia, yang sangat dinamis, perasaan suka pun demikian. Dia bergerak cepat, berubah cepat, berkelindan dalam pusaran ketidakjelasan: apakah aku ingin dimiliki dengan rasa sukamu itu, atau tidak?

“Terlalu cepat untuk mengatakan bahwa itu cinta. Bahkan, ketika kamu merasa mencintai seseorang, bisa jadi itu hanya ilusi kagum.”

Hanya saja, pertemuan selanjutnya, aku semakin dalam terhisap pada pusaran bola matamu. Dengan itu, aku memahami cara sudut pandangmu. Dan aku ingin memiliki seluruh warna tawa, nada suara, gerakan tangan dan tubuh, serta argumenmu yang membuat tercengang itu. Apakah itu ilusi? It is so a fucking real!

Tidak pernah ada kenyataan bagimu, kecuali kenyataan itu sendiri. Yang sangat dinamis dan berputar cepat di pusaran hidup. Bahwa rasa penasaran yang selesai karena bahasa tubuh sang objek yang begitu mudahnya terbaca, membuat tidak penting lagi lapisan demi lapisan yang dulu pernah kita singkap bersama. Selapis tentang aku, selapis tentang kamu. Dan tidak pernah ada “kita”.

Konsekuensinya, kamu datang sebentar untuk pergi dalam waktu yang lama. Dan apa makna kata suka yang tersampaikan kemarin? Ilusi, bukan? Dan aku memikirkanmu sepanjang waktu, menebak-nebak namun tidak berani menyampaikan. Dalam hal ini, aku selalu menyesali, ah kenapa aku lahir sebagai perempuan?

Kopi dan desert di atas meja itu sudah dingin. Aku merenung memandang ke bangku di depanku. Tidak ada siapa-siapa. Cuma kenangan, melintas tajam. Singkat, namun menggores luka dalam. Seluruh ruangan penuh dengan aroma perasaan ditinggalkan.

IV
Photo by Volkan Olmez on Unsplash
Photo by Volkan Olmez on Unsplash

Tidak pernah ada yang benar-benar kosong setelah bersinggungan dengan sesuatu, meskipun ia pergi, menghilang, maupun tak kembali. Satu detik peristiwa adalah kenangan yang bertahan ribuan tahun lamanya. Dan itulah yang membuat selalu ada keterhubungan tak terjelaskan, dari orang yang bahkan kini menjadi asing.

“Siapa kamu?”

Ah, setelah seluruh dinamika itu, aku menjadi tidak lagi mengenalmu. Kamu kembali menjadi asing. Tidak bisa lagi kujangkau, kuprediksi, bahkan kuintervensi. Sesekali kamu menyapa namun yang terngiang dalam kepalaku: siapakah kamu? Samakah kamu dengan orang yang dulu mengajak berkenalan, kerap melantunkan pujian, dan manis terhadap perempuan?

Ritme kita kembali seperti dulu. Tidak bisa dipertemukan lagi. Takdir menyentuhkan kita kembali ke posisi semula, di simpang ini aku dengan aktivitasku, di simpang sana kau dengan sibukmu. Namun tidak pernah benar-benar ada yang sebenar-benarnya kosong, putih bersih, seperti sebelum kita bertemu. Kamu masih selalu tertinggal dalam kepalaku.
Meski asing.

Lamat-lamat, terdengar suara syahdu Seal menyanyikan Kiss from A Rose “The more I got you, stranger it feels......



Ria Fitriani
Bukan siapa-siapa lagi untukmu
Photo by Asaf R on Unsplash

0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment