![]() |
Tengah
malam sudah lewat, tinggal pagi datang menjemput. Namun ada sesuatu yang
mengganjal di rongga dada. Aku ingin sekali menghubungimu. Seperti malam-malam
dulu, kita bisa menghabiskan 3-5 jam hanya berbincang dalam telpon. Kini,
mungkin kamu membenciku dan menjaga jarak denganku, agar tak lagi menyakitiku,
katamu. Aku menghabiskan dua jam terakhir ini untuk bimbang dan sangat ingin
menangis hanya karena apakah aku harus menghubungimu atau tidak. Ya, aku
memutuskan untuk menghubungimu, mungkin ini akan mengganggu tidur malammu,
mimpi indahmu dengan lelaki pujaanmu yang baru. Aku menghubungimu bukan untuk
meminta maaf apalagi kesempatan kedua. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku
rindu kamu. Ya, rindu kamu. Pun aku bahkan tak berharap kamu membalas
perasaanku ini. Aku cuma ingin menyampaikan padamu dan kamu tahu bahwa
perasaanku padamu masih menyala seperti dulu, tak pernah sekalipun padam.
Tak ada
suara-suara lain selain bunyi ketukan jariku pada papan laptop dan dentuman
menit jam dinding yang tak pernah lelah berputar. Hei, malam ini sunyi sekali.
Aku benci sekali kesunyian, kamu tahu betul itu. Kadang gara-gara itu kamu
sesekali sebal karena aku rewel minta selalu ditemani. Dan tak pernah lelah
menanyakan kabarmu, bagaimana kamu menjalani hari-harimu. Saking seringnya
bertanya, kamu pernah bilang aku bawelnya seperti emak-emak. Aku terima itu
sangkaan itu. Namun yang tidak bisa aku terima adalah berpisah denganmu. Karena
pada dasarnya, perpisahan adalah upaya menuju sisa-sisa kesia-siaan yang lahir
untukd dilupakan. Aku benci lupa dan dilupakan.
Bolehkah
aku meminta satu hal, jangan pernah lupakan aku. Jangan lupakan semua
mimpi-mimpi yang pernah kamu bagikan kepadaku. Keinginan untuk hidup bersama,
memiliki pekarangan bunga sendiri dan menjadi ibu yang selalu membuat seisi
rumah malas jajan di luar karena masakan yang selalu dirindukan. Aku tak
memintamu untuk mengingatnya setiap detik persisnya. Hanya, jika kamu tak
sengaja makan makanan kesukaan kita berdua dengan kekasihmu, aku harap kamu
mengingatku. Atau lagu-lagu yang pernah aku nyanyikan dengan fals ketika
bersamamu sekalipun. Bukan sebagai apa-apa, hanya sebagai yang pernah ada. Aku pun akan mengingatmu
dengan cara seperti itu. Aku akan selalu mengingatmu ketika aku rajin makan, karena
kamu yang paling khawatir dengan maagku. Dan hal-hal baik yang selalu kamu
katakan, meski sekarang sekedar menanyakan kabar saja tidak. Tapi, aku akan
tetap mengingatmu dengan cara seperti itu. Itu cukup. Lebih dari cukup.
Seperti
cara kita saling jatuh cinta kala itu. Dengan sangat sederhana. Dari
kebersamaan yang remeh, pesan-pesan tak penting dan kedekatan yang tak pernah
dibuat-buat. Sederhana saja. Tanpa penyesalan dan tidak saling membenci. Hanya
untuk mengingat saja. Bahwa kita pernah satu sama lain tersenyum bahagia. Tawa
lepas dan sesekali saling menghangatkan dengan pelukan. Meski sementara. Meski
telah lalu. Aku harap itu baik untuk sebuah kenangan, bukan justru menjadi
sebuah kemarahan, luka, ketiadaan kabar dan perasaan yang perlahan pudar.
Tak
perlulah kita ingat kenapa kita akhirnya saling menyakiti. Kamu yang memilih
laki-laki lain sedangkan aku belum bisa berdamai dengan diriku sendiri. Tak
perlulah hal itu untuk diingat. Oh iya, jangan pula ingat mengapa kita bisa
saling jatuh cinta satu sama lain. Karena mengingat itu justru kepalang
menyakitkan. Cukup ingatlah saja rahasia-rahasiaku seperti aku mengingat
mimpi-mimpimu. Dan ingatlah kita sebagai sepasang manusia yang pernah saling
berbagi hingga akhirnya kosong sendiri.
Aku
tidak sampai hati menelponmu. Ada trauma yang sangat dalam. Setelah perpisahan
itu, kamu berkali-kali tidak menjawab telponku, dan lebih seringa menolaknya.
Mungkin kamu benar-benar muak denganku. Mungkin kamu benar-benar ingin sendiri
dulu. Atau mungkin kamu memang sudah melupakanku dan berbahagia bersamanya. Aku
mencoba mengerti itu. Tapi aku merindukanmu. Aku rindu mendegar kabarmu. Rindu
mendengar cerita-ceritamu menjalani hari-hari yang panjang. Aku hanya ingin
mendengarkan semuanya sekali lagi. Semua cerita dan mimpi yang pernah kamu bagi
kepadaku. Aku merindukannya.
Ah,
mengapa rindu ini begitu menyesakkan.
Shidqi Ni'am,