MENYEMAI RINDU DALAM BISU | Shidqi Ni'am


Tengah malam sudah lewat, tinggal pagi datang menjemput. Namun ada sesuatu yang mengganjal di rongga dada. Aku ingin sekali menghubungimu. Seperti malam-malam dulu, kita bisa menghabiskan 3-5 jam hanya berbincang dalam telpon. Kini, mungkin kamu membenciku dan menjaga jarak denganku, agar tak lagi menyakitiku, katamu. Aku menghabiskan dua jam terakhir ini untuk bimbang dan sangat ingin menangis hanya karena apakah aku harus menghubungimu atau tidak. Ya, aku memutuskan untuk menghubungimu, mungkin ini akan mengganggu tidur malammu, mimpi indahmu dengan lelaki pujaanmu yang baru. Aku menghubungimu bukan untuk meminta maaf apalagi kesempatan kedua. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku rindu kamu. Ya, rindu kamu. Pun aku bahkan tak berharap kamu membalas perasaanku ini. Aku cuma ingin menyampaikan padamu dan kamu tahu bahwa perasaanku padamu masih menyala seperti dulu, tak pernah sekalipun padam.
Tak ada suara-suara lain selain bunyi ketukan jariku pada papan laptop dan dentuman menit jam dinding yang tak pernah lelah berputar. Hei, malam ini sunyi sekali. Aku benci sekali kesunyian, kamu tahu betul itu. Kadang gara-gara itu kamu sesekali sebal karena aku rewel minta selalu ditemani. Dan tak pernah lelah menanyakan kabarmu, bagaimana kamu menjalani hari-harimu. Saking seringnya bertanya, kamu pernah bilang aku bawelnya seperti emak-emak. Aku terima itu sangkaan itu. Namun yang tidak bisa aku terima adalah berpisah denganmu. Karena pada dasarnya, perpisahan adalah upaya menuju sisa-sisa kesia-siaan yang lahir untukd dilupakan. Aku benci lupa dan dilupakan.
Bolehkah aku meminta satu hal, jangan pernah lupakan aku. Jangan lupakan semua mimpi-mimpi yang pernah kamu bagikan kepadaku. Keinginan untuk hidup bersama, memiliki pekarangan bunga sendiri dan menjadi ibu yang selalu membuat seisi rumah malas jajan di luar karena masakan yang selalu dirindukan. Aku tak memintamu untuk mengingatnya setiap detik persisnya. Hanya, jika kamu tak sengaja makan makanan kesukaan kita berdua dengan kekasihmu, aku harap kamu mengingatku. Atau lagu-lagu yang pernah aku nyanyikan dengan fals ketika bersamamu sekalipun. Bukan sebagai apa-apa, hanya sebagai  yang pernah ada. Aku pun akan mengingatmu dengan cara seperti itu. Aku akan selalu mengingatmu ketika aku rajin makan, karena kamu yang paling khawatir dengan maagku. Dan hal-hal baik yang selalu kamu katakan, meski sekarang sekedar menanyakan kabar saja tidak. Tapi, aku akan tetap mengingatmu dengan cara seperti itu. Itu cukup. Lebih dari cukup.
Seperti cara kita saling jatuh cinta kala itu. Dengan sangat sederhana. Dari kebersamaan yang remeh, pesan-pesan tak penting dan kedekatan yang tak pernah dibuat-buat. Sederhana saja. Tanpa penyesalan dan tidak saling membenci. Hanya untuk mengingat saja. Bahwa kita pernah satu sama lain tersenyum bahagia. Tawa lepas dan sesekali saling menghangatkan dengan pelukan. Meski sementara. Meski telah lalu. Aku harap itu baik untuk sebuah kenangan, bukan justru menjadi sebuah kemarahan, luka, ketiadaan kabar dan perasaan yang perlahan pudar.
Tak perlulah kita ingat kenapa kita akhirnya saling menyakiti. Kamu yang memilih laki-laki lain sedangkan aku belum bisa berdamai dengan diriku sendiri. Tak perlulah hal itu untuk diingat. Oh iya, jangan pula ingat mengapa kita bisa saling jatuh cinta satu sama lain. Karena mengingat itu justru kepalang menyakitkan. Cukup ingatlah saja rahasia-rahasiaku seperti aku mengingat mimpi-mimpimu. Dan ingatlah kita sebagai sepasang manusia yang pernah saling berbagi hingga akhirnya kosong sendiri.
Aku tidak sampai hati menelponmu. Ada trauma yang sangat dalam. Setelah perpisahan itu, kamu berkali-kali tidak menjawab telponku, dan lebih seringa menolaknya. Mungkin kamu benar-benar muak denganku. Mungkin kamu benar-benar ingin sendiri dulu. Atau mungkin kamu memang sudah melupakanku dan berbahagia bersamanya. Aku mencoba mengerti itu. Tapi aku merindukanmu. Aku rindu mendegar kabarmu. Rindu mendengar cerita-ceritamu menjalani hari-hari yang panjang. Aku hanya ingin mendengarkan semuanya sekali lagi. Semua cerita dan mimpi yang pernah kamu bagi kepadaku. Aku merindukannya.
Ah, mengapa rindu ini begitu menyesakkan.



Shidqi Ni'am,
Penyemai rindu



0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment