JALAN-JALAN CINTA | M Toyu Aradana





Kuhabiskan dana segar untuk mengunjungimu, keinginanku adalah selain bisa menemuimu, aku ingin berselfi denganmu, tapi sayang, dana segar itu (yang kuperoleh dengan peras keringat) hanya cukup untuk mendapatkan luka. Aku baru sadar bahwa Tuhan belum mengucurkan kebahagiaanku dari langit ke-tujuhnya langit ke tujuh. Deritaku begitu absolute!

***

Kutempuh jarak yang begitu jauh, menyeberangi laut dan kulintasi kota-kota. Kutemui macet-macet yang nyaris membatalkan perjumpaan kita. Tapi aku telah bertekad untuk menemuimu di mana kau berada. Kata-kata kangenmu, suara tangismu ketika bicara di telepon, sms, WA, BBM, FB, dan lain-lain membuatku resah, risau dan tak nyaman tidur. Aku merasa wajib untuk mendatangimu. Bagiku, jarak itu terlampau dekat. Meski aku harus berkali-kali pindah bus dari berbagai jurusan, aku tak peduli. Semua itu lantaran kebelet kangen yang nyeleksek dalam dada. Aku tak ingin membuatmu menangis. Jika pun kau menangis, aku yang harus menghapus air matamu.

Dalam perjalanan menuju kotamu, kukenang pertemuan itu. Pertemuan yang sangat maya sekali. Awalnya kau hanya “suka” terhadap status-statusku yang statis. Lambat laun, kau pun membubuhkan komentarmu yang jenaka. Lalu, kita pindah obrolan di pesan pribadi, kita berani saling berbagi cerita, tentang segala yang kau rasakan akibat itu semua, kita pun merelakan berbagi nomor. Ya saat itu aku punya HP, belum sanggup untuk membeli BB, WA atau line, tapi dengan perjuangan kerasku, aku mampu membeli BB, WA, tapi aku tak membeli line, karena dua itu sudah cukup. Dari BB itu, aku dapat melihat senyummu. Iya, kita seakan-akan sudah bisa bertatapan. Sungguh membuatku tenang.

Kau pun mengajakku berjumpa, aku pun mengiyakan. Tapi, setiba di kotamu, kota tempatmu kuliah, kau memberikan alasan yang panjang lebar, aku menunggumu di terminal. Cukup lama, kutunggu pesan-pesanmu, yang pada akhirnya kau membatalkan perjumpaan kita. Aku tak bisa menunggumu terlalu lama. Tersebab persediaan dana yang terbatas. Ahhh!!! Itu yang pertama kali. Aku masih bisa mengampuni, sebab itu untuk masa depanmu, apa sih yang gak buat kamu.

Menjelang semester akhir katamu, kau mendapatkan tugas untuk meneliti di daerah pesisir, dan itu tak begitu jauh dari kotaku. Ya, memang harus menyeberangi lautan. Tapi, aku tetap berniat menemuimu. Perjalanan itu pun kutempuh seorang diri. Tapi setiba di tempatmu itu, alasan-alasanmu kembali menjalar sepanjang perjalananku. Seakan-akan bus-bus tak muat untuk menampungnya. Kau bilang, harus penelitian, harus laporan, ini-itu, kau pun bilang, harus menyiapkan berbagai macam hal agar cepat selesai dan cepat kembali ke kampusmu. Aku pun mengiyakan. Aku tak pernah curiga terhadapmu, aku pun tetap setia pada perkataanmu. Aku diam saja. Saat kulihat DP BBmu, kau berenang-riang bersama teman-temanmu, riang sekali, sangat riang, tak apalah jika itu maumu. Waktu ku misscall, suara itu bukan suaramu, dan membuatku cemburu. Aku cepat-cepat pulang.

Dan ini untuk ketiga kalinya, kau pun sudah wisuda katanya, aku ingin datang tapi takut kedatanganku hanya akan membuatmu malu di hadapan semua teman-temanmu, meski aku benar-benar sangat ingin melihatmu wisuda. Tapi tekadku sudah bulat. Hatiku tak bisa dirayu untuk tak menemuimu. Meski sudah dua kali kau gagalkan perjumpaan kita, mungkin kali ini aku bisa menemuimu, dan kau pun bisa menemuiku. Sekali lagi, Aku mengulangi perjalanan yang membosankan.

Sesampai di terminal, aku masih harus ke toilet lantaran perjalanan membuatku sakit perut. Begitulah cinta, membuat sakit perut, masuk angin dan segalanya. Kau pun menceritakan kotamu ini, kota istimewa yang damai, tentram lohjinawi, semua pelajar datang ke kota ini untuk belajar. Kau mengajakku mengelilingi kota dengan andong, pada malam hari, kita duduk bersantai di sekitar tugu. Di sini aku ingin berselfi denganmu, tapi kau menolak, ahhhh… aku tak bisa berbuat banyak. Aku tak merasa aneh, kau pun khusyuk dengan HPmu. Aku pun ingin memastikan kelanjutkan cintaku padamu, tapi sayang kau menjawab yang tak mampu kudengar.

“Kita kan gak pernah jadian, jadi mana mungkin kita putus, lalu haruskah kita baikan kalau tidak pernah jadian? Kita kan cuma kaka-adik doang, sayang-sayangan, lalu kaka nganggepnya cinta? Baper sekali sih…!!!”

Aku pun menyimpan kadomu ini, sebagai kado termahal yang harus kubeli dengan dana segar dari hasil pekerjaan yang melelahkan.


Tiga kali. Sebagai sunnah yang harus ganjil. Terima kasih adik. Kita memang tidak pernah jadian. 

M Toyu Aradana
Yang selalu berharap jadi-jadian

1 comment:

  1. Anjay,,, ini pengalaman apa murni sebagai khayalan tingkat tinggi..?? :D

    ReplyDelete