Saat aku mendengar kepulanganmu dari pondok dan
kau tidak akan kembali lagi ke pondokmu, aku sangat bahagia sekali. Kau selalu
kurindukan, kuharapkan kedatangannya telah datang. Kabarmu itu membuatku tenang
dan bahagia. Kata bahagia saja sebenarnya tak sanggup untuk mewakili
perasaanku. Lalu harus dengan kalimat macam apa lagi, bentuk kebahagiaan ini
kuungkapkan?
Tak berselang lama dari kepulanganmu, datang kabar
lain yang menghujami hidupku. Kau telah dilamar oleh lelaki shaleh pilihan
kiaimu, kau memang tidak bisa menolaknya dan tanggal pernikahanmu telah
ditetapkan. Sejak kabar itu pula, segalanya menjadi punah, hancur, dan
terbengkalai. Itulah kalimat yang paling pas untuk menggambarkan keadaanku saat
itu. Lalu harus dengan kalimat macam apa lagi bentuk sakit ini ku ungkapkan?
Aku bertahun-tahun menunggumu, hanya bermodalkan
percaya bahwa kau akan pulang utuh seperti semula, tapi apalah daya kau pulang
mendapat berkah, barokah, dan lelaki yang siap membawamu pada keadaan sakinah mawadah warrohmah. Sedang aku mendapat luka dan nista.
Keluargamu pun telah menyiapkan segalanya termasuk
undangan. Undangan pernikahanmu telah kau sebar hingga seluruh teman-teman kelas tak ada yang kau
lupa. Bahkan lelaki yang dulu sangat kau musuhi, tetap kau undang juga. Sedang aku,
yang kau contek Matematikanya, yang kau curi puisi-puisinya, yang kau paksa menghafal bahasa Arab Ana Uheibbu ilaik(a/i)… ah sudahlah.
***
Dekorasi manten yang kau duduki adalah hasil jerih keringatku.
Ya, meskipun itu semua bukan punyaku, tapi paling tidak aku telah berusaha
untuk membuat kau merasa agung pada pesta pernikahanmu. Dekorasi manten itu akulah
yang memasang. Lelaki yang dulu kau ajak mondok namun urung sebab lebih memilih ikut bekerja di persewaan dekorasi manten, mengumpulkan pundi rupiah demi menjamin kebahagiaanmu.
Di dekorasi manten kau duduk dengan nyaman bersama
suamimu. Semua mata tertuju padamu. Aku melayani tamu-tamu besar keluargamu,
apalagi tamu-tamu agung dari pihak suamimu, aku turut bahagia. Kau memang
melihatku. Tapi kukatupkan bibir dan kugaruk hidungku, agar kau tetap di
pelaminan, meski suamimu sempat kaget dengan tingkah ganjilmu ketika menyapaku.
Air minum biasanya menggunakan isi ulang yang
diambil dari sumur. Ada yang bekerja untuk menimba dari sumur, ada yang
membantu untuk selalu mengisi ulang dan mengantarnya. Tapi di pestamu ini,
airnya sudah menggunakan air gelas, lelaki yang biasanya bekerja untuk menimba
air sumur pun tak dapat bekerja lagi. Yang biasanya bungkus nasinya dengan daun
pisang, di pestamu ini tak lagi dengan itu semua. Kudengar celoteh ini semua
karena menghormati keluarga pihak suamimu yang pastinya akan dikunjungi
tamu-tamu agung dari kota.
Gelas dan
botol plastik itu berserakan di luar pagar. Aku berharap hari itu tak ada
pemulung yang lewat, sebab aku ingin mengumpulkannya. Tapi tak berselang berapa
lama, kulihat ibuku yang mengumpulkannya.
Aku pun mengirimkan kado untukmu. Awalnya aku bingung
untuk memberi kado apa untukmu. Aku memberikan kado yang berisi ikat pinggang
berwarna hijau. Itu adalah peninggalan nenek yang diturunkan untuk ibu, tapi
ibu tak punya anak wanita. Sebelum ikat pinggang diberikan pada istri kakakku,
ikat pinggang itu aku minta dan kukatakan ingin kuberikan pada wanita yang
ingin kulamar. Ibupun mengece aku.
Aku tidak tahu, apakah kau akan memakai atau tidak.
Ikat pinggang itu biasanya digunakan setelah memasang sarung (batik) yang biasa
nenek pakai ketika hendak keluar rumah (perjalanan jauh, kondangan dll) agar
sarungnya tak lepas dalam perjalanan. Tapi sepertinya kau tak akan memakainya,
sebab kau akan menggunakan baju ustadzah kekinian yang tak perlu bersabuk.
Semenjak itu aku tak betah berada di rumah. Rumahku
terasa sangat gerah. Aku ingin merantau, entah kemana. Mungkin ke Jakarta,
sebagai penjaga toko, jualan sate atau membuka salon “Potong Rambut”. Atau, aku mesti ke Yogyakarta untuk belajar nulis dengan warga-warga Jomblo Syar’iyah agar aku bisa cepat melupakanmu dan nghits seperti kakak Afif Zamroni HR.
Pengalaman ditinggal nikah