AKU YANG MERIAS DEKOR MANTENMU, KEKASIH... | M Toyu Aradana


Saat aku mendengar kepulanganmu dari pondok dan kau tidak akan kembali lagi ke pondokmu, aku sangat bahagia sekali. Kau selalu kurindukan, kuharapkan kedatangannya telah datang. Kabarmu itu membuatku tenang dan bahagia. Kata bahagia saja sebenarnya tak sanggup untuk mewakili perasaanku. Lalu harus dengan kalimat macam apa lagi, bentuk kebahagiaan ini kuungkapkan?
Tak berselang lama dari kepulanganmu, datang kabar lain yang menghujami hidupku. Kau telah dilamar oleh lelaki shaleh pilihan kiaimu, kau memang tidak bisa menolaknya dan tanggal pernikahanmu telah ditetapkan. Sejak kabar itu pula, segalanya menjadi punah, hancur, dan terbengkalai. Itulah kalimat yang paling pas untuk menggambarkan keadaanku saat itu. Lalu harus dengan kalimat macam apa lagi bentuk sakit ini ku ungkapkan?
Aku bertahun-tahun menunggumu, hanya bermodalkan percaya bahwa kau akan pulang utuh seperti semula, tapi apalah daya kau pulang mendapat berkah, barokah, dan lelaki yang siap membawamu pada keadaan sakinah mawadah warrohmah. Sedang aku mendapat luka dan nista.
Keluargamu pun telah menyiapkan segalanya termasuk undangan. Undangan pernikahanmu telah kau sebar hingga seluruh teman-teman kelas tak ada yang kau lupa. Bahkan lelaki yang dulu sangat kau musuhi, tetap kau undang juga. Sedang aku, yang kau contek Matematikanya, yang kau curi puisi-puisinya, yang kau paksa menghafal bahasa Arab Ana Uheibbu ilaik(a/i)… ah sudahlah.
***
Dekorasi manten yang kau duduki adalah hasil jerih keringatku. Ya, meskipun itu semua bukan punyaku, tapi paling tidak aku telah berusaha untuk membuat kau merasa agung pada pesta pernikahanmu. Dekorasi manten itu akulah yang memasang. Lelaki yang dulu kau ajak mondok namun urung sebab lebih memilih ikut bekerja di persewaan dekorasi manten, mengumpulkan pundi rupiah demi menjamin kebahagiaanmu.
Di dekorasi manten kau duduk dengan nyaman bersama suamimu. Semua mata tertuju padamu. Aku melayani tamu-tamu besar keluargamu, apalagi tamu-tamu agung dari pihak suamimu, aku turut bahagia. Kau memang melihatku. Tapi kukatupkan bibir dan kugaruk hidungku, agar kau tetap di pelaminan, meski suamimu sempat kaget dengan tingkah ganjilmu ketika menyapaku.
Air minum biasanya menggunakan isi ulang yang diambil dari sumur. Ada yang bekerja untuk menimba dari sumur, ada yang membantu untuk selalu mengisi ulang dan mengantarnya. Tapi di pestamu ini, airnya sudah menggunakan air gelas, lelaki yang biasanya bekerja untuk menimba air sumur pun tak dapat bekerja lagi. Yang biasanya bungkus nasinya dengan daun pisang, di pestamu ini tak lagi dengan itu semua. Kudengar celoteh ini semua karena menghormati keluarga pihak suamimu yang pastinya akan dikunjungi tamu-tamu agung dari kota.
 Gelas dan botol plastik itu berserakan di luar pagar. Aku berharap hari itu tak ada pemulung yang lewat, sebab aku ingin mengumpulkannya. Tapi tak berselang berapa lama, kulihat ibuku yang mengumpulkannya.
Aku pun mengirimkan kado untukmu. Awalnya aku bingung untuk memberi kado apa untukmu. Aku memberikan kado yang berisi ikat pinggang berwarna hijau. Itu adalah peninggalan nenek yang diturunkan untuk ibu, tapi ibu tak punya anak wanita. Sebelum ikat pinggang diberikan pada istri kakakku, ikat pinggang itu aku minta dan kukatakan ingin kuberikan pada wanita yang ingin kulamar. Ibupun mengece aku.
Aku tidak tahu, apakah kau akan memakai atau tidak. Ikat pinggang itu biasanya digunakan setelah memasang sarung (batik) yang biasa nenek pakai ketika hendak keluar rumah (perjalanan jauh, kondangan dll) agar sarungnya tak lepas dalam perjalanan. Tapi sepertinya kau tak akan memakainya, sebab kau akan menggunakan baju ustadzah kekinian yang tak perlu bersabuk.
Semenjak itu aku tak betah berada di rumah. Rumahku terasa sangat gerah. Aku ingin merantau, entah kemana. Mungkin ke Jakarta, sebagai penjaga toko, jualan sate atau membuka salon “Potong Rambut”. Atau, aku mesti ke Yogyakarta untuk belajar nulis dengan warga-warga Jomblo Syar’iyah agar aku bisa cepat melupakanmu dan  nghits seperti kakak Afif Zamroni HR.

Pengalaman ditinggal nikah

0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment