Statusmu
akhir-akhir
ini sungguh amat mengejutkanku. Bagaimana tidak. Paska berakhirnya hubungan
kita, yang kau tolak aku dengan segala teori. Pertama dari segi agama, iya
setelah kau melakukan istikharah, seluruh keluargamu pun melakukan istikharah
dan akhirnya hanyalah huruf-huruf yang bagaikan gergaji yang memotong-motong
segala tubuhku. Iya, SIN (kau dapat bayangkan bagaimana sin itu menghadap ke
atas, jika dibalik akan menjadi seperti gergaji). Semenjak itu aku semakin
males untuk belajar tentang agama. Di saat aku membangun komitmen yang
sesungguhnya. Aku pun sebenarnya tidak tahu apa makna dan fungsi SIN itu dalam
kode etik peristikharaan. Kau pun mengajarinya. Okelah. Saat ini agama
berpartisipasi, membantu, mendukung kegagalan harapanku. Okelah. Aku terlampau
SIN untukmu dan masa depan hidupmu. Dan oleh sebab itu, aku tak bisa berdoa
sebagaimana banyak orang yang diputuskan, digagalkan atau disia-siakan dengan
doa “semoga ba.. bla.bla.bla.” tapi aku tak bisa berdoa.
Andai saja kita berbeda agama. Betapa akan semakin
sulitnya aku untuk kau terima. Apakah karena aku biasa menyariskan waktu shalat
dalam dua sholat, seperti contoh: ashar dilaksanakan menjelang maghrib. Dhuhur
menjelang ashar dan ashar sekaligus. Tapi aku jujur tak pernah menunaikan shalat
subuh menjelang dhuhur. Aku sangat jujur. Lalu karena aku biasa seperti itu,
kau menyangka aku orang yang telat, orang yang tak bisa mengatur waktu,
menunda-nunda waktu. Oh… (Jawab sendiri). kau memang selalu mengingatkanku
untuk shalat ketika terdengar adzan. Lima kali sehari, seakan-akan peringatanmu
mengatakan bahwa aku tak mendengar adzan. Padahal di kampungku adzan
bermunculan dari segala arah. Dan di sebuah tempat mungkin kau merasa aneh jika
waktu adzan ashar hampir bersamaan dengan “waktu pulangnya orang bekerja dari
sawah?” kau pasti tak percaya itu. Orang adzan itu banyak macamnya, bahkan hp
sudah bisa adzan. Lalu kau masih mengira aku tak memperhatikan waktu. Jika
selama ini menuntunku untuk selalu menyempurnakan sebagian dari imanku dengan
melamarmu sebagai bagian tak terpisahkan dalam hidupku, tapi akhirnya agama
pulalah yang memaksaku menyadari bahwa aku terlampau SIN untukmu. Betapa SIN
nya aku untukmu. Aku mesti berguru padamu untuk membersihkan SIN (Su’: Jelek!!!) dari diriku. Ajarilah
aku!!! Tapi…
Semenjak itu, aku tetap setia membaca, menengok, dan terus-terusan
memperhatikan statusmu. Terkadang kau mengutuk waktu yang tak mengizinkan kita
untuk bersama, terkadang kau mengutuk dengkur yang terus-menerus meramaikan
tidurmu sendiri. Kau
mengusir sepi dengan terus memutar-mutar kenangan yang kau jadikan kaset hitam.
Aku sungguh terkejut dengan statusmu. Tak seperti
biasanya kau tanpak lemah seperti ini. Kau tulis tentang darah yang mengalir
dari ujung matamu. Iya, kau tak sanggup menahan air mata. Air mata bercucuran
akibat kau merasa kutinggalkan tanpa kata, tanpa masalah pelik yang tak
semestinya mengubah arah pandang kita. Memang tidak bermusuhan. Tapi paska kita
memutuskan untuk menghentikan hubungan ini, semuanya terasa hambar, BBM-an, WA-an,
LINE-an, FB-an. Dari media social itu
pula aku tahu tentang beratnya hatimu melepasku (cie-cie). Andai kau tak
keterlaluan menolakku. Mungkin aku masih bisa memaafkan (cie-cie). Kau bahkan
membawa agama. Sampai-sampai aku
ingin menjadi atheis. Yang percaya sepenuhnya pada Tuhan dan diriku sendiri
(piye maksute?).
Penolakanmu berbasis agama itu sungguh tak bisa
kuterima. Mungkin itu sebentuk kaca bagiku. Mungkin aku terlalu buruk untukmu.
Meski jarang ke masjid, meski aku jarang ke tempat-tempat ibadah yang begitu
terkenal, seperti Borobudur. (Eh boro-boro). Tajmahal apalagi!! (karena
memang mahal).
Iya, aku memang jarang ke tempat-tempat mujarabah, seperti kuburan-kuburan
keramat. Tapi, andai kau memberi kesempatan saat itu, kasihku untukmu seorang.
Aku serius. Ah… Agama!!!
Aku tak habis pikir!!! Aku sedang menahan air mata saat menulis ini. Dan
statusmu tetap saja membuatku kangen. Sumpah. Foto-fotomu di facebook yang
riang gembira semakin membuatku iri. Sebab kaulah wanita yang membuatku riang.
Hahaha. Cielah.
“Bagaimana bisa aku
sanggup untuk melupakanmu, sedang senyummu semakin menawan, sedang senyummu
semakin menggoda, sedang senyummu semakin membuat asyik kupandangi.”
Aku bingung untuk melanjutkan tulisan ini.
Terkadang statusmu memang ekstrim. Statusmu berbau
kutukan dan seakan-akan semua ini hanya disebabkan oleh lelaki. Padahal bapak
kita lelaki, kakek kita lelaki, paman kita lelaki, ibu kita perempuan, nenek
kita perempuan, bibi kita perempuan. Untuk kawasan Indonesia, saya belum
menemukan bahwa ibunya adalah seorang lelaki. Ada yang demikian??? Mestinya kau
tak usah terlalu berlebihan mengutuk lelaki yang pernah kau cintai mati-matian,
lalu kau campakkan dan mencampakkanmu, kemudian kamu mengutuknya dengan santai,
atau dengan sadis.
Tapi, yang mengagumkan. Sampai sekarang kau setia
dengan kesendirianmu. Aku menjadi bertanya-tanya. Ah… sudahlah. Mungkin Tuhan
masih menggenggam jodohmu sehinggga jodohmu tersembunyi dalam genggaman Tuhan.
Apakah aku masih setia dengan kesendirian? Oh… hahaha. Aku tergantung kemauanku
donk!!! Aku bisa merebut dari
tangan Tuhan. Hahaha…
Aku akan tetap membaca statusmu, melihat foto-fotomu
dan akan mencibirmu jika masih jomblo hingga akhir hidupmu. Fotomu tetap
menggodaku. Merangsang!!!
M Toyu Aradana, S.Sos.
Sarjana yang tak lulus dari masa lalu mantannya
21 September 2015
21 September 2015