Sudah tiga bulan lebih kita kenal, dan
sudah terhitung satu bulan sejak kita memulai hubungan ini. Aku tau dan sadar
jika keputusanku untuk tak mau berpacaran membuat hubungan kita semakin
menggantung. Ikatan ini aku sebut tak pacaran namun rasa pacaran. Awalnya semua
terasa sangat manis karena kau selalu bersedia membantu menyelesaikan masalah.
Meskipun berbeda prinsip, tapi kita menjalaninya dengan penuh kebahagiaan.
Makin hari kau makin kasar. Kau mulai
pagari gerak-gerikku. Kau bilang karena kau sayang dan cinta padaku. Berhubung
dosen terganteng di prodiku pun sepaham denganmu, aku mencoba untuk terima.
“Kalau tak possesive, maka tak cinta”, kira-kira begitu kata beliau.
Tapi kini sudah berbeda. Kau mencoba
mengubah prinsip hidupku. Kau bilang jika aku tak mengubahnya berarti aku tak
cukup menyayangimu dengan keras kepala. Ehem... Aku mulai takut lalu perlahan
menjauh. Tapi sejujurnya aku tak ingin berpisah denganmu. Aku masih ingin
mempertahankan hubungan kita selama mungkin. Aku menyayangimu. Kau orang
pertama yang ku izinkan memasuki pintu hati ini.
Makin lama kebodohanku tak tertolong
lagi dengan terus mempertahankan hubungan yang hanya berbuah sakit. Namun entah
kenapa aku sedikit menikmati penyiksaan yang kamu berikan. Bahkan setiap kali
kita bertikai, aku akan tersenyum. Antara senang dan sedih. Semacam senyuman
manis yang dilihat dari planet lain dengan kacamata hitam, lalu terhalang
banyak asap dari ledakan bom di timur tengah, kemudian tertutup banyak mayat
korban perang, lalu... Intinya tak terlihat. Haha. Aku Bagaikan narapidana yang
menikmati masa-masa hukumannya.
Banyak orang yang berkata aku mulai
gila. Gila disebabkan tersakiti oleh pujaan hatiku. Gila karena kekangan yang
sudah kau berikan. Gila karena bila tak melihatmu sehari, aku bagai pecandu
yang sedang sakaw. Mencintaimu bagaikan narkotika yang menghancurkanku dalam
kenikmatan. Sampai-sampai ada yang menghujatku dengan sebutan masochist. Aaarghh. Ayolah, aku tak
separah itu.
Aku mulai ketakutan dengan kelanjutan hubungan kita. Ketika aku sudah benar-benar terpuruk, muncul pertanyaan horror dalam benakku, “Bang, hubungan kita ini sebenernya gimana?”. Aku takut kau jawab pertanyaan ini dengan kalimat “Sudahlah, aku sudah bosan padamu. Kita akhiri saja!!”. Atau malah setelah kau mendengarnya, kau akan mendiamkanku bertahun-tahun. Aku merinding. Haha.
Banyak kata yang tak bisa ku ungkapkan di depan mukamu bang. Aku grogi. Haha. Maka adek coba tuliskan disini sedikit kalimat yang ingin sekali adek ungkapkan;
‘’Bang adek sayang abang, kenapa akhir-akhir ini abang makin kasar sama adek bang? Adek jadi takut bang. Abang mungkin gak terima kalau adek deket-deket sama cowok lain, tapi pada kenyataannya hatiku hanya untukmu bang! Adek suka liat abang cemburu, tapi gak gini-gini amat bang. Pelukan abang yang dulunya “hangat” mendadak jadi “dingin”, tiap kali abang genggam tangan adek yang dulunya dengan penuh kelembutan sekarang kok kayak nyengkram “mangsa”, nafsu membabi buta untuk memiliki. Tanganku sampai memar bang!! Abang khawatir sama apa sih?? Adek gak bakalan lari kok bang.. adek gak bakalan ninggalin abang semudah itu.. kenapa abang jadi ragu banget sama adek. Apa perlu adek bikin tulisan di jidat adek “aku sudah ada yang punya” biar abang gk khawatir lagi?? Bilang yang jelas bang.. biar adek jadi tahu. Karna perjuangan cintaku hanya untukmu bang!”.
Aku bingung, apa ini yang dirasakan para pejuang terdahulu? Mati-matian memperjuangkan negerinya demi kebebasan dan kemerdekaan. Tapi sepertinya hal itu jauh berbeda, karena aku hanya bisa memperjuangkan cintamu. Benar-benar tolol kan? Yah tolol sekali. Orang-orang mencibirku dengan kata-akata ALAY, tahanan cinta, menjijikkan, hina, bau, miskin, ateis, loh loh kok jadi ga jelas gini. Ya kira-kira seperti itu ketololanku di depan lubang hidung banyak orang. Tapi tak apa, ini kisahku dan inilah aku. Aku bangga dengan perjuanganku.
Dari seorang yang tergila-gila
padamu,
Sri Hidayanti Nelson.