Kamu tak pernah tersadar, bahwa malam
pergantian tahun baru hanya tinggal
menunggu hitungan jam. Yang ada dalam ingatanmu
hanyalah saat-saat berpisah dengannya. Kamu masih begitu mencintainya,
sedangkan ia sudah bersiap-siap bahagia dengan orang lain. Namun, entah rintik
hujan, sebait lagu atau sepenggal peristiwa dengan brengseknya membawa
ingatan-ingatanmu bersamanya. Rasanya, getir sekali. Melihat kenyataan bahwa
kebersamaan adalah ruang ketidakmungkinan.
Dan siapa yang nyana, ketika sedang rindu-rindunya. Ia mengirim
pesan pendek 'Hai, gimana kabarmu?.' Kamu kacau, lalu kamu mengambil
sebungkus endomi, memasaknya dengan ditaburi puluhan potongan cabe rawit.
Pedas sekali, kamu memakannya untuk menutupi diri bahwa saat itu kamu sedang
menangis. Kamu tidak menangis, dalihmu.
Kamu tentu saja ingin buru-buru membalasnya. Tapi tunggu dulu. Tak
semudah itu. Memaafkan tak seperti yang dikatakan para motivator atau meme-meme
baper di medsos.
Pesan itu sebenarnya tidak datang tiba-tiba. Ia pelan-pelan telah
mengintip ruang hatimu. Memberimu harapan. Kamu akan bertanya-tanya. Apakah ia
masih seperti dulu? Apakah ia masih dengan pesonanya? Pesona yang
mengisyaratkanmu untuk tunduk, menyerah dan kasmaran. Ah, dan usahamu untuk
melupakannya menahun akan hancur sia-sia. Kamu sudah tahu itu. Dan kamu akan
selalu terjebak pada keinginan untuk tetap bersama.
Terlalu rumit memang sebuah rindu berkelindan. Apakah ini hanya
sementara? Sebuah melankolia semata? Yaitu tentang perasaan yang lama sekali
kamu pendam. Dan hanya dengan pemantik 'pesan menanyakan kabar', perasaan itu
datang lagi. Sejak awal kamu menyadari bahwa perasaanmu kepadanya tak pernah
hilang sama sekali. Ada beberapa yang masih tersisa. Yaitu hal-hal kecil yang
seringkali ia lakukan padamu. Mulai dari merapikan rambutmu yang acak-acakan
setelah mengenakan helm, atau ketika dia marah besar mengetahui dirimu tidak
sarapan. Ya, bersama dengan segala kenangan yang berkelindan, kamu kalah telak.
Namun, membalas pesan yang ditunggu tak semudah dikira. Tentu saja
kamu ragu. Kamu tidak yakin. Kamu khawatir perasaan indah yang bertahun lalu,
yang selalu kamu banggakan itu rusak. Berubah. Berganti dan mengecewakan. Bisa
saja ia sudah menjelma menjadi orang lain, tak hangat lagi, tak seperhatian dulu lagi, atau
jangan-jangan ini hanya pelariannya saja setelah ia terlibat pertengkaran hebat
dengan kekasihnya itu. Ah, seharusnya kamu tak perlu memikirkan hal itu.
Pikiran-pikiran yang belum tentu benar tapi malah justru membuatmu kecewa tanpa
tahu sesungguhnya.
Tapi setelah dipikir-pikir ulang. Membaca pelan-pelan pesan itu
berulang kali. Kamu masih saja ragu untuk membalasnya. Kamu masih sangat rindu.
Perasaanmu tidak bisa dibohongi, kamu masih mengharapkan kebersamaan dengannya.
Akan tetapi, jika kamu membalas pesan itu. Kamu akan kembali terpuruk. Kamu
akan kembali dibuatnya berharap. Kamu akan dipaksa menunggu. Dan seperti yang
sudah-sudah, kamu akan terluka. Kamu akan marah dengan dirimu sendiri yang
terlalu berharap itu. Menyedihkan, kata dirimu yang lain.
Namun, hal yang paling absurd terlintas di otakkmu. Adalah cinta.
Tiba-tiba kamu gugup. Takut dia kecewa, takut dia akan berbeda. Perasaanmu
meluap-luap kembali seperti bocah bertemu kekasihnya di belakang kantin sekolah. Kamu tak sabar untuk
membalas pesannya. Kamu kembali yakin dengan perasaanmu, ia akan setia
menunggumu. Membuka hatinya untukmu. Kamu berkali-kali menghibur dirimu.
Berkali-kali untuk membentengimu agar tak kembali kecewa jika membalas
pesannya.
Malam telah jatuh. Di luar langit sungguh gelap. Hanya ada beberapa
titik bintang. Kamu hampir menangis. Mengingat pernah menikmati malam berdua di
atas bangunan perkantoran yang belum jadi. Sekuat tenaga kamu menahannya. Namun
kepalang sialan, air mata tidak pernah berhasil kamu bendung. Kamu sesunggukan,
padahal pesan balasan belum juga kamu tulis.
Setelah melewati beberapa perenungan. Kamu menemukan kembali
harapannya. Cinta yang telah lama kamu rindukan. Perasaan bahagia yang begitu
menggebu, dibalut kemarahan, dendam, kekecewaan dan juga harapan. Semua berkelindan
menjadi satu. Kamu ingat-ingat lagi alasan yang membuatmu jatuh cinta
kepadanya. Sebuah ketulusan. Tentang perasaan yang selalu membuat kalian
menganggap tidak ada satupun di dunia ini yang lebih penting dari kebersamaan
kalian.
Lalu dengan kesungguhan kamu membalasanya, 'Alhamdulillah baik,
kamu sendiri gimana?'
Saat itu juga, pesan terkirim bersama perasaanmu yang sudah kamu
tumpahkan. Dengan itu semua sudah tuntas. Lunas. Tentang penantian itu. Tentang
harapan itu. Kamu telah bahagia. Lantas, sekali lagi kamu menunggu. Pesanmu tak
kunjung dibalas. Mungkin kamu membalasnya terlalu lama dan ia sudah tertidur.
Dalihmu lagi-lagi begitu. Kamu tak bisa tidur, kamu menunggu hingga pagi
datang. Berharap ketika dia terbangun akan membalas pesanmu. Lalu mengajakmu
ketemuan, mungkin sekedar nonton bioskop. Namun itu hanyalah fantasimu saja.
Pesanmu tak dibalasnya, lagi. Kamu seharusnya belajar yang sudah-sudah. Ia
sudah pergi, dan kedunguanmu adalah membiarkan ia datang mengetuk pintu
hatimu saban waktu. Kamu tahu, dia hanya mengetuk dan tak pernah mau masuk
lagi. Bak anak kecil melempar petasan di teras rumahmu. Kamu keluar, ia lari
tunggang langgang. Dan keesokannya hari akan terulang kembali. Kamu tahu ia
mesti pergi lagi, lalu kamu mesti menunggunya lagi. Selamat untuk kebodohan kita bersama.
Shidqi Ni'am
Lelaki Tertangguh abad ini, versi tetangga kos.