Menjadi Maafmu | Ahmadi Gims


Katamu, memaafkan itu serupa meminum air laut. Setiap luka punya jiwa sendiri, setiap pesakitan punya almanaknya sendiri. Lantas kamu menasehati dirimu sendiri untuk berdamai?. Tolstoyseorang pesakitan asal Rusia punya segudang karya yang mana itu sanggup membuat kita merasa hidup terlalu lama dalam kebencian, pun tetap mati dengan menggenggam kekecewaanya. Apakah dia mati dengan memaafkan sekitar atau mati dengan bara marahnya sendiri. Siapa yang tahu?

Aku selalu berharap menjadi kamu yang bisa mengurai maaf dalam sebuah tataran dangkal mengenai kesendirian yang harus diampuni. Meyakinkan dirimu bahwa menyimpan bara api di hati hanya akan membuatmu tersiksa. Kamu akan disiksa kebencian dan kemarahan yang kamu pelihara tanpa alasan. Hingga pada akhirnya membusuk. Hatimu menjadi keras dan biadab. Sehingga kamu menyakiti siapapun yang datang dan berusaha menyelamatkan diri dari penyesalan. Aku ingin menjadi kamu yang seperti itu, Sungguh.

Tapi bagiku, maaf itu serupa cinta di dalam meneguk sebotol anggur. Kita akan selalu haus meminumnya dan baru berhenti ketika sudah hilang kesadaran. Karena aku tahu, bahwa dalam kesadaran, memaafkan itu adalah suatu hal yang menentramkan dan siapa yang bilang ketentraman itu bukan candu yang tak bisa habis. Maka kita harus berulang-ulang mencari candu untuk ketentraman itu sendiri.

Mengakrabi maaf bagiku adalah perkara pelik. Kamu tahu kenapa? Karena marah sudah jadi karibku sejak aku melepas tali pusar. Aku merengek marah ketika tetek ibuku jauh. Aku menangis. Aku mengamuk dengan segala hal yang tak serupa harapanku. Maka aku lebih memilih tetap menyimpan marah pada diriku sendiri. Karena ia adalah nyala api di hidupku. Membakar memang, tapi biarkanlah. Aku kira kamu tahu sumber kehidupan selalu berporos pada air dan api. Aku menghormati kamu yang selalu memilih menjadi air sehingga dengan begitu aku harus tetap menyala.

Nietzche dalam Zaratusta pernah berkata,

"Jangan percaya kepada mereka yang bicara kepada kami tentang harapan adi-duniawi! Pencampur racunlah mereka. Entah mereka mengetahuinya atau tidak. mreka itu pencemooh hidup, yaitu orang yang sedang mati dan keracunan sendiri...".

Tapi apakah Nietzsche mati dengan senyuman? Aku rasa tidak. Dia seperti menulis karyanya dalam bahasa kemarahan. Dan berakhir dengan kematian yang tak kalah menyedihkan dengan kegilaan. Apakah wanita atau kemarahan yang dia pelihara sehingga membuat dia mati dengan sebegitunya? Siapa yang tahu?

Tapi menjadi marah dalam nyala dan meminjam kata Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja, aku kira lebih dari sekedar memaafkan.

Hei, Aku juga sedang menasehati diriku sendiri. Marahlah pada apapun, tenggak saja anggurmu, karena kewarasan adalah kemabukan itu sendiri.

Tapi bolehlah Aku tetap mencintaimu walau kamu sudah tak semarah aku, sudah memaafkan dirimu sendiri, dan sudah bahagia dengan yang lain. Boleh kan?

Ahmadi Gims,
Pria yang gagal memaafkan masa lalunya.


0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment