Katamu, memaafkan itu
serupa meminum air laut. Setiap luka punya jiwa sendiri, setiap pesakitan punya
almanaknya sendiri. Lantas kamu menasehati dirimu sendiri untuk berdamai?. Tolstoy, seorang
pesakitan asal Rusia punya
segudang karya yang mana itu sanggup membuat kita merasa hidup terlalu lama
dalam kebencian, pun tetap mati dengan menggenggam kekecewaanya. Apakah dia mati dengan memaafkan
sekitar atau mati dengan bara marahnya sendiri. Siapa yang tahu?
Aku selalu berharap
menjadi kamu yang bisa mengurai maaf dalam sebuah tataran dangkal mengenai kesendirian
yang harus diampuni. Meyakinkan dirimu bahwa menyimpan bara api di hati hanya
akan membuatmu tersiksa. Kamu akan disiksa kebencian dan kemarahan yang kamu
pelihara tanpa alasan. Hingga pada akhirnya membusuk. Hatimu menjadi keras dan
biadab. Sehingga kamu menyakiti siapapun yang datang dan berusaha menyelamatkan
diri dari penyesalan. Aku ingin menjadi kamu yang seperti itu, Sungguh.
Tapi bagiku, maaf itu
serupa cinta di dalam meneguk sebotol anggur. Kita akan selalu haus meminumnya
dan baru berhenti ketika sudah hilang kesadaran. Karena aku tahu, bahwa dalam
kesadaran, memaafkan itu adalah suatu hal yang menentramkan dan siapa yang bilang
ketentraman itu bukan candu yang tak bisa habis. Maka kita harus berulang-ulang
mencari candu untuk ketentraman itu sendiri.
Mengakrabi maaf bagiku
adalah perkara pelik. Kamu tahu kenapa? Karena marah sudah jadi karibku sejak
aku melepas tali pusar. Aku merengek marah ketika tetek ibuku jauh. Aku
menangis. Aku mengamuk dengan segala hal yang tak serupa harapanku. Maka aku
lebih memilih tetap menyimpan marah pada diriku sendiri. Karena ia adalah nyala
api di hidupku. Membakar memang, tapi biarkanlah. Aku kira kamu tahu sumber
kehidupan selalu berporos pada air dan api. Aku menghormati kamu yang selalu
memilih menjadi air sehingga dengan begitu aku harus tetap menyala.
Nietzche dalam
Zaratusta pernah berkata,
"Jangan
percaya kepada mereka yang bicara kepada kami tentang harapan adi-duniawi!
Pencampur racunlah mereka. Entah mereka mengetahuinya atau tidak. mreka itu
pencemooh hidup, yaitu orang yang sedang mati dan keracunan sendiri...".
Tapi apakah Nietzsche
mati dengan senyuman? Aku rasa tidak. Dia seperti menulis karyanya dalam bahasa
kemarahan. Dan berakhir dengan kematian yang tak kalah menyedihkan dengan
kegilaan. Apakah wanita atau kemarahan yang dia pelihara sehingga membuat dia
mati dengan sebegitunya? Siapa yang tahu?
Tapi menjadi marah
dalam nyala dan meminjam kata Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja, aku kira lebih
dari sekedar memaafkan.
Hei, Aku juga sedang
menasehati diriku sendiri. Marahlah pada apapun, tenggak saja anggurmu, karena
kewarasan adalah kemabukan itu sendiri.
Tapi bolehlah Aku
tetap mencintaimu walau kamu sudah tak semarah aku, sudah memaafkan dirimu
sendiri, dan sudah bahagia dengan yang lain. Boleh kan?
Ahmadi Gims,
Pria yang gagal memaafkan masa lalunya.