Suratku Untukmu; Yang Kesekian Kali Tak Kau Baca | Shidqi Ni'am



Hay Kamu,
Masih bolehkan aku menulis surat pendek yang di dalamnya adalah barisan kekagumanku padamu. Pesonamu yang begitu sederhana, indah suaramu, teduh sinar wajahmu, lembut rambutmu dan tingkahmu yang menggemaskan. Aku juga merindukan suasana syahdu ketika kamu merajuk meminta bakso tusuk, sifat manjamu ketika tak sengaja bercak saos mie ayam mengotori pipimu dan caramu merajuk ketika aku iseng pura-pura tak berselera memakan nasi telor bikinanmu. Aku selalu yakin, bahwa Tuhan menitipkan dahlia pesona perempuan terindah padamu. Karena setiap aku melihatmu adalah tentang sepetak cahaya indah yang memancar dari dirimu yang lugu.

Aku sedang terjebak hujan di salah satu warung kopi yang pernah kita kunjungi sama-sama. Hujan turun dengan ramainya, seolah gemas dan penasaran dengan surat yang kutulisakan untukmu. Gelegar petir sesekali menyampaikan kegagahannya di langit. Angin pun mendesah jalang, membikin pengunjung lain mulai mengenakan jaketnya.

Sekarang kamu sedang apa? Apakah kamu sedang membikin coklat panas kesukaanmu? Memasak mie rebus telur dengan potongan cabe banyak? Atau kamu masih saja mendengar sajak sendu Payung Teduh dan berharap mereka tiba-tiba muncul di depan kosmu mendendangkan lagu 'Untuk Perempuan Yang Sedang di Pelukan'? Entahlah, yang jelas kamu selalu baik-baik saja dan percayalah cahaya malam akan selalu melindungimu.

Aku menulis ini dengan sedikit perasaan rindu, tentu bukan karena sedih. Entah mengapa, seringkali ketika aku sendiri, tiba-tiba mataku berkaca dan berair. Kamu tidak pernah merasakan betapa malunya aku. Duduk di warung kopi sendiri lalu air mata turun. Aku tidak lagi sedih, hanya saja semacam ada memori yang mampir. Kenangan yang kepalang menusuk. Rindu yang betapa menyesakkan. Jika sudah demikian, perasaanku tak mau tunduk. Ia semacam membawa getaran. Dan getaran itu mengharuskan aku untuk menulis surat ini.

Mungkin kamu akan bilang, kenapa tidak berbalas pesan pendek seperti biasanya, jika sempat kamu juga sedia menerima telponku. Tapi itu begitu biasa, begitu penuh basa-basi, hanya seperlunya, aku mengirim pesan gombal atau penggalan puisi Sapardi, kamu kadang membalas dengan kesal, mengirim emot tanda kamu tak mengerti atau malas menanggapiku. Aku ucapkan terima kasih, anggap saja itu sebuah dermamu yang tak bakal sia-sia karena sudah membuatku bahagia dan kasmaran.

Tapi biarkanlah aku menulis untukmu. Demi sesuatu yang berbentuk, sesuatu yang bisa kamu ingat. Sepucuk surat dariku yang, semoga, melahirkan kenangan. Karena aku yakin, kenangan adalah sesuatu yang paling kejam yang bersembunyi di lubuk perasaan terdalam. Dan aku berharap, aku bukan menjadi salah satu kenangan terburukmu.

Kamu pasti masih ingat tentang sepotong waktu di rak sepi bagian belakang toko buku itu? Di rak buku 'filsafat' itulah kita dipertemukan, yang kelak akan membentuk jaring laba-laba bernama kenangan. Entah apa yang kamu baca saat itu, karena segala hal yang ada di bumi, termasuk perasaanku berhenti bekerja. Hanya mataku saja yang berhasil sesekali mencuri pandang padamu. Betapa segala teori relativitas waktu dari Albert Einstein, Stephen Hawking atau teori kausalitas Al Ghazali jelas tak berguna saat itu.

Sejak itu, kebersamaan kita seperti sebuah titik di semesta yang maha luas ini di mana waktu tak tercatat. Ia seperti bisikan, hanya kamu dan aku saling merasa dan tak selalu ketemu. Mengarungi waktu dari kelam ke kelam dengan gumam perlahan-lahan di dunia yang mana semua orang punya kepentingannya. Begitu juga dengan kita saat itu, kepentingan untuk bersama lebih besar dari apapun yang ada. Bisakah perasaan itu diterima dan kamu jaga di sela-sela sibukmu?

Awan hujan ini masih pekatnya, aku kira mereka betah berlama-lama ingin turut memastikan. Memastikan tiap detik yang berlalu saat ini adalah usahaku menulis tentangmu dan untukmu. Atau awan mulai cemburu, curiga dengan rasa penasaran, tentang bagaimana aku menuliskan tentangmu dengan benar.

Aku akan menunggu hujan reda sendirian di warung kopi ini. Meski pengunjung lain sudah mulai berangsur menanggalkan tempat duduknya. Aku akan menunggu hingga pagi tiba. Menunggu sinar matahari yang mungkin kamu tak menjumpainya karena bangun kesiangan. Lalu kamu akan mengumpat karena hari itu kamu ada jam pagi dan presentasi mata kuliah yang dosennya menyebalkan tapi tetap kamu cintai kuliahmu dengan tulus. Beruntungnya jurusan yang kamu ambil, apabila aku, aku cukup ingin dicintaimu dengan secukupnya saja, tidak berlebihan. Dan aku sudah sangat bersyukur kita sempat mengalami masa-masa indah. Saat secara kikuk aku mengajakmu kenalan di toko buku itu. Jujur, saat itu aku bingung harus bagaimana. Tapi seperti itulah perasaan kita ketika menikmati gelapnya malam yang jujur dan pekat serta meresapi gemerlap bintang dengan keindahan sejawarnya.

Barangkali kita memamng ditakdirkan untuk tak terlalu peduli dengan semua ini. Tentang remah-remah perasaan yang tersisa, juga tertiup angin, bercampur debu, yang hanya kadang-kadang saja akan kita kenali. Semacam memori yang mampir sesaat. Dimana perasaan-perasaan seperti itu akan membuat kita pelan-pelan berkata “Aku seperti pernah mengalami hal ini, entah kapan, apa dari mimpi? Entahlah”. Memang banyak hal di dunia ini yang tidak harus dimengerti dengan sungguh-sungguh., tidak perlu dimaklumi apa-apa dan tidak perlu untuk disesali.

Tapi tak mengapa, biarlah, kita simpan sedikit saja tentang kenangaan pertemuan-pertemuan kita itu. Ia akan mengendap. Jika kamu ingin buang, cukup tiup saja seperti debu. Karena mungkin, kenangan itu tak lebih berharga dari ingatan-ingatan indahmu tentang perayaan ulang tahunmu atau mendapati kabar naskah novelmu diterima salah satu penerbit dan siap terbit secepatnya. Hal-hal semacam itu bukankah sudah cukup membuat kita bahagia? Meskipun hanya sekedar menyapa?
Aku yakin, sekedar menyapa 'hai, apa kabarmu?' tidak akan menyakiti siapapun. Tidak seperti Jakarta yang selalu macet dan banjir ketika hujan bertandang, atau seperti bumi yang selalu mengeluh karena Jogja semakin sesak dengan bangunan menjulang tinggi. Memang begitu banyak kepedihan yang terserak di jalanan, darah berceceran. Sedangkan kita sibuk dengan perasaan sendiri? Tapi apa salahnya berlaku demikian? Bukankah kisah kita ini, yang peduli hanya diri sendiri. Terlalu puitis memaksa jutaan jiwa di dunia ikut merasakan sebalnya hari senin dan deadline tulisan yang ketat. Begitu celotehmu di suatu hari.

Tapi aku selalu bertanya-tanya semua yang berkaitan tentang kita. Tentang arti pertemuan kita dan hal-hal lain yang berkaitan. Seperti nuansa Jogja yang mampu membuatmu mengucurkan air mata. Tentang kecintaanmu pada buku-buku, sahabat-sahabatmu yang tulus, cintamu yang besar pada ibu dan tentang waktu berhenti yang kemudian mempertemukan kita. Hal semacam itu memang tak pernah tamat, tak pernah tuntas dan tidak mungkin dimaknai secara lunas. Namun kita juga tidak bisa memaksa semuanya berjalan sempurna.

Kamu pernah bilang “kita sudah tahu semua ini memang tidak bisa jadi apa-apa dan memang barangkali memang tidak perlu menjadi apa-apa. Kita toh sudah senang meski hanya saling memandang, dan menengok segala penyesalan sebelum pertemuan, dan tahu memang tidak ada yang bisa disalahkan, sehingga kita memang tidak perlu bertanya, 'kenapa harus jadi begini?”. Kala itu aku terdiam berfikir keras. Namun tiba-tiba kamu tertawa terbahak, mungkin melihat ekspresi wajahku memamncarkan kebodohan. 'kamu tidak tahu penggalan kata itu? Aku ambil dari cerpennya Seno Gumira A.haha'. Aku tetap tidak tertawa, memang ada benarnya kutipan itu. Aku lupa judulnya apa, nanti kalau kita ketemu akan aku tanyakan kepadamu.

Tapi ya memang seperti itu. Hidup barangkali memang sudah ada garisnya. Dari satu tragedi ke tragedi selanjutnya, dari ironi satu ke ironi lainnya, dari satu elegi ke elegi lainnya. Dan kita memang tak punya banyak kuasa untuk menentukan akhirnya, meski kita sama-sama bisa melihat ujungnya.

Terkadang memang kehidupan ini mengharu biru, membuat kita lupa pada kebahagiaan. Atau mungkin sebaliknya, menenggelamkan kita dalam sesak umur yang semakin bertambah. Ah, entahlah. Aku malas memikirkannya. Yang kutahu saat ini aku sedang menulis surat untukmu sebagai ucpa syukur kepada Tuhan yang telah menciptakanmu dengan sempurna. 'Ah, kamu aja jarang sholat' katamu dengan sedikit sebal. Ketika aku akan menimpali itu, kamu sudah terburu malas mendengan khutbah-khutbah pembelaanku.

Maafkan aku, sepertinya suratku ini begitu panjang. Kamu tentu tahu, aku hanya pandai berceloteh bebas dengan menulis. Seringkali aku tak lancar berbicara di hadapan perempuan. Kacau dalam berkata-kata. Tapi dalam pesan ini, aku bebas mengumbar kata dan perasaanku ini. Barangkali ini memang takdir, bahwa aku dilahirkan untuk menikmati waktu berdua dengan perempuan dengan kikuk dan bodohnya.

Tak terasa pagi sudah datang. Cahaya kuning keemasan memancar dan pelan-pealn menyilaukan mataku. Tiba-tiba aku menggeliat dan merasa badan ini ringkih. Kamu selalu cerewet dan bawel apabila aku begadang di warung kopi sampai pagi datang. Suara-suara manusia lamat-lamat mulai terdengar dari kejauhan demi memulai aktifitasnya. Sedangkan aku masih duduk menulis ini tentangmu.

Mungkin kita sama-sama sudah lelah. Lelah memanjakan perasaan. Dan sudah waktunya untuk kita saling menjadi kejam kepada diri kita sendiri. Menjaga perasaan agar tidak mengambil alih kehidupan. Dan mencoba hidup bersama dengan kenyataan yang ada. Tapi apakah kenyataan bersedia hidup dengan kita? Sementara di kekhawatiranku terdalam, apakah aku akan merapati sisa umurku dalam kesendirian? Mematung tanpa kawan sembari melihat rambutku rontok karena uban? Atau? Aku ditakdirkan mati dalam pelukanmu? Tersembunti menikmati kehidupan yang merangkak menuju gelap ini?

Ah, sudahlah. Matahari mulai tinggi. Aroma soto warung depan mulai menusuk hidung. Hei, apakah kamu cukup makan selama ini? Istirahatmu bagaimana? Masih sering nyeri di kepalamu mampir? Karena segala yang bernama kecemasanku adalah kamu. Apakah kamu masih takut buang air di tengah malam sendiri dan selalu minta ditemani? Sementara aku selalu berpesan pada langit malam agar selalu santun menjagamu dari gelap. Seandainya kita masih bersama, aku akan selalu menjagamu. Tapi bolehkan aku berharap? Meski harapan selalu menjadi mahal untuk diwujudkan.

Tibalah pada sebuah akhir dari suratku. Dari seseorang yang hidupnya bersandar pada kenangan. Dan kenangan itu adalah serupa kamu. Kita perlahan akan di eja tua dan kemudian mati. Tapi siapa yang tak pernah merasa rindu dan kehilangan? Percayalah, kita akan saling mengenang ketika hujan tiba. Selamanya.

Shidqi Ni'am

0 Comments
Komentar

0 komentar:

Post a Comment