Hay Kamu,
Masih bolehkan aku menulis surat pendek yang di
dalamnya adalah barisan kekagumanku padamu. Pesonamu yang begitu sederhana,
indah suaramu, teduh sinar wajahmu, lembut rambutmu dan tingkahmu yang
menggemaskan. Aku juga merindukan suasana syahdu ketika kamu merajuk meminta
bakso tusuk, sifat manjamu ketika tak sengaja bercak saos mie ayam mengotori pipimu dan caramu merajuk ketika aku iseng pura-pura tak berselera memakan nasi telor bikinanmu. Aku selalu yakin, bahwa Tuhan menitipkan dahlia pesona perempuan terindah padamu. Karena
setiap aku melihatmu adalah tentang sepetak cahaya indah yang memancar dari
dirimu yang lugu.
Aku sedang terjebak hujan di salah satu warung
kopi yang pernah kita kunjungi sama-sama. Hujan turun dengan ramainya, seolah
gemas dan penasaran dengan surat yang kutulisakan untukmu. Gelegar petir
sesekali menyampaikan kegagahannya di langit. Angin pun mendesah jalang,
membikin pengunjung lain mulai mengenakan jaketnya.
Sekarang kamu sedang apa? Apakah kamu sedang
membikin coklat panas kesukaanmu? Memasak mie rebus telur dengan potongan cabe
banyak? Atau kamu masih saja mendengar sajak sendu Payung Teduh dan berharap
mereka tiba-tiba muncul di depan kosmu mendendangkan lagu 'Untuk Perempuan Yang
Sedang di Pelukan'? Entahlah, yang jelas kamu selalu baik-baik saja dan
percayalah cahaya malam akan selalu melindungimu.
Aku menulis ini dengan sedikit perasaan rindu,
tentu bukan karena sedih. Entah mengapa, seringkali ketika aku sendiri,
tiba-tiba mataku berkaca dan berair. Kamu tidak pernah merasakan betapa malunya
aku. Duduk di warung kopi sendiri lalu air mata turun. Aku tidak lagi sedih,
hanya saja semacam ada memori yang mampir. Kenangan yang kepalang menusuk.
Rindu yang betapa menyesakkan. Jika sudah demikian, perasaanku tak mau tunduk.
Ia semacam membawa getaran. Dan getaran itu mengharuskan aku untuk menulis
surat ini.
Mungkin kamu akan bilang, kenapa tidak berbalas
pesan pendek seperti biasanya, jika sempat kamu juga sedia menerima telponku.
Tapi itu begitu biasa, begitu penuh basa-basi, hanya seperlunya, aku mengirim
pesan gombal atau penggalan puisi Sapardi, kamu kadang membalas dengan kesal,
mengirim emot tanda kamu tak mengerti atau malas menanggapiku. Aku ucapkan
terima kasih, anggap saja itu sebuah dermamu yang tak bakal sia-sia karena
sudah membuatku bahagia dan kasmaran.
Tapi biarkanlah aku menulis untukmu. Demi
sesuatu yang berbentuk, sesuatu yang bisa kamu ingat. Sepucuk surat dariku
yang, semoga, melahirkan kenangan. Karena aku yakin, kenangan adalah sesuatu
yang paling kejam yang bersembunyi di lubuk perasaan terdalam. Dan aku
berharap, aku bukan menjadi salah satu kenangan terburukmu.
Kamu pasti
masih ingat tentang sepotong waktu di rak sepi bagian belakang toko buku itu?
Di rak buku 'filsafat' itulah kita dipertemukan, yang kelak akan membentuk
jaring laba-laba bernama kenangan. Entah apa yang kamu baca saat itu, karena segala
hal yang ada di bumi, termasuk perasaanku berhenti bekerja. Hanya mataku saja
yang berhasil sesekali mencuri pandang padamu. Betapa segala teori relativitas
waktu dari Albert Einstein, Stephen Hawking atau teori kausalitas Al Ghazali
jelas tak berguna saat itu.
Sejak itu,
kebersamaan kita seperti sebuah titik di semesta yang maha luas ini di mana
waktu tak tercatat. Ia seperti bisikan, hanya kamu dan aku saling merasa dan
tak selalu ketemu. Mengarungi waktu dari kelam ke kelam dengan gumam perlahan-lahan
di dunia yang mana semua orang punya kepentingannya. Begitu juga dengan kita
saat itu, kepentingan untuk bersama lebih besar dari apapun yang ada. Bisakah
perasaan itu diterima dan kamu jaga di sela-sela sibukmu?
Awan hujan
ini masih pekatnya, aku kira mereka betah berlama-lama ingin turut memastikan.
Memastikan tiap detik yang berlalu saat ini adalah usahaku menulis tentangmu
dan untukmu. Atau awan mulai cemburu, curiga dengan rasa penasaran, tentang
bagaimana aku menuliskan tentangmu dengan benar.
Aku akan
menunggu hujan reda sendirian di warung kopi ini. Meski pengunjung lain sudah
mulai berangsur menanggalkan tempat duduknya. Aku akan menunggu hingga pagi
tiba. Menunggu sinar matahari yang mungkin kamu tak menjumpainya karena bangun
kesiangan. Lalu kamu akan mengumpat karena hari itu kamu ada jam pagi dan
presentasi mata kuliah yang dosennya menyebalkan tapi tetap kamu cintai
kuliahmu dengan tulus. Beruntungnya jurusan yang kamu ambil, apabila aku, aku
cukup ingin dicintaimu dengan secukupnya saja, tidak berlebihan. Dan aku sudah
sangat bersyukur kita sempat mengalami masa-masa indah. Saat secara kikuk aku
mengajakmu kenalan di toko buku itu. Jujur, saat itu aku bingung harus
bagaimana. Tapi seperti itulah perasaan kita ketika menikmati gelapnya malam
yang jujur dan pekat serta meresapi gemerlap bintang dengan keindahan
sejawarnya.
Barangkali
kita memamng ditakdirkan untuk tak terlalu peduli dengan semua ini. Tentang
remah-remah perasaan yang tersisa, juga tertiup angin, bercampur debu, yang
hanya kadang-kadang saja akan kita kenali. Semacam memori yang mampir sesaat.
Dimana perasaan-perasaan seperti itu akan membuat kita pelan-pelan berkata “Aku
seperti pernah mengalami hal ini, entah kapan, apa dari mimpi? Entahlah”.
Memang banyak hal di dunia ini yang tidak harus dimengerti dengan
sungguh-sungguh., tidak perlu dimaklumi apa-apa dan tidak perlu untuk disesali.
Tapi tak
mengapa, biarlah, kita simpan sedikit saja tentang kenangaan
pertemuan-pertemuan kita itu. Ia akan mengendap. Jika kamu ingin buang, cukup
tiup saja seperti debu. Karena mungkin, kenangan itu tak lebih berharga dari
ingatan-ingatan indahmu tentang perayaan ulang tahunmu atau mendapati kabar
naskah novelmu diterima salah satu penerbit dan siap terbit secepatnya. Hal-hal
semacam itu bukankah sudah cukup membuat kita bahagia? Meskipun hanya sekedar
menyapa?
Aku yakin,
sekedar menyapa 'hai, apa kabarmu?' tidak akan menyakiti siapapun. Tidak
seperti Jakarta yang selalu macet dan banjir ketika hujan bertandang, atau
seperti bumi yang selalu mengeluh karena Jogja semakin sesak dengan bangunan
menjulang tinggi. Memang begitu banyak kepedihan yang terserak di jalanan,
darah berceceran. Sedangkan kita sibuk dengan perasaan sendiri? Tapi apa
salahnya berlaku demikian? Bukankah kisah kita ini, yang peduli hanya diri
sendiri. Terlalu puitis memaksa jutaan jiwa di dunia ikut merasakan sebalnya
hari senin dan deadline tulisan yang ketat. Begitu celotehmu di suatu hari.
Tapi aku
selalu bertanya-tanya semua yang berkaitan tentang kita. Tentang arti pertemuan
kita dan hal-hal lain yang berkaitan. Seperti nuansa Jogja yang mampu membuatmu
mengucurkan air mata. Tentang kecintaanmu pada buku-buku, sahabat-sahabatmu
yang tulus, cintamu yang besar pada ibu dan tentang waktu berhenti yang
kemudian mempertemukan kita. Hal semacam itu memang tak pernah tamat, tak
pernah tuntas dan tidak mungkin dimaknai secara lunas. Namun kita juga tidak
bisa memaksa semuanya berjalan sempurna.
Kamu pernah
bilang “kita sudah tahu semua ini memang tidak bisa jadi apa-apa dan memang barangkali
memang tidak perlu menjadi apa-apa. Kita toh sudah senang meski hanya saling
memandang, dan menengok segala penyesalan sebelum pertemuan, dan tahu memang
tidak ada yang bisa disalahkan, sehingga kita memang tidak perlu bertanya,
'kenapa harus jadi begini?”. Kala
itu aku terdiam berfikir keras. Namun tiba-tiba kamu tertawa terbahak, mungkin
melihat ekspresi wajahku memamncarkan kebodohan. 'kamu tidak tahu penggalan
kata itu? Aku ambil dari cerpennya Seno Gumira A.haha'. Aku tetap tidak
tertawa, memang ada benarnya kutipan itu. Aku lupa judulnya apa, nanti kalau
kita ketemu akan aku tanyakan kepadamu.
Tapi ya
memang seperti itu. Hidup barangkali memang sudah ada garisnya. Dari satu
tragedi ke tragedi selanjutnya, dari ironi satu ke ironi lainnya, dari satu
elegi ke elegi lainnya. Dan kita memang tak punya banyak kuasa untuk menentukan
akhirnya, meski kita sama-sama bisa melihat ujungnya.
Terkadang
memang kehidupan ini mengharu biru, membuat kita lupa pada kebahagiaan. Atau
mungkin sebaliknya, menenggelamkan kita dalam sesak umur yang semakin
bertambah. Ah, entahlah. Aku malas memikirkannya. Yang kutahu saat ini aku
sedang menulis surat untukmu sebagai ucpa syukur kepada Tuhan yang telah
menciptakanmu dengan sempurna. 'Ah, kamu aja jarang sholat' katamu dengan
sedikit sebal. Ketika aku akan menimpali itu, kamu sudah terburu malas
mendengan khutbah-khutbah pembelaanku.
Maafkan aku,
sepertinya suratku ini begitu panjang. Kamu tentu tahu, aku hanya pandai
berceloteh bebas dengan menulis. Seringkali aku tak lancar berbicara di hadapan
perempuan. Kacau dalam berkata-kata. Tapi dalam pesan ini, aku bebas mengumbar
kata dan perasaanku ini. Barangkali ini memang takdir, bahwa aku dilahirkan
untuk menikmati waktu berdua dengan perempuan dengan kikuk dan bodohnya.
Tak terasa
pagi sudah datang. Cahaya kuning keemasan memancar dan pelan-pealn menyilaukan
mataku. Tiba-tiba aku menggeliat dan merasa badan ini ringkih. Kamu selalu
cerewet dan bawel apabila aku begadang di warung kopi sampai pagi datang.
Suara-suara manusia lamat-lamat mulai terdengar dari kejauhan demi memulai
aktifitasnya. Sedangkan aku masih duduk menulis ini tentangmu.
Mungkin kita
sama-sama sudah lelah. Lelah memanjakan perasaan. Dan sudah waktunya untuk kita
saling menjadi kejam kepada diri kita sendiri. Menjaga perasaan agar tidak
mengambil alih kehidupan. Dan mencoba hidup bersama dengan kenyataan yang ada.
Tapi apakah kenyataan bersedia hidup dengan kita? Sementara di kekhawatiranku
terdalam, apakah aku akan merapati sisa umurku dalam kesendirian? Mematung
tanpa kawan sembari melihat rambutku rontok karena uban? Atau? Aku ditakdirkan
mati dalam pelukanmu? Tersembunti menikmati kehidupan yang merangkak menuju
gelap ini?
Ah, sudahlah.
Matahari mulai tinggi. Aroma soto warung depan mulai menusuk hidung. Hei,
apakah kamu cukup makan selama ini? Istirahatmu bagaimana? Masih sering nyeri
di kepalamu mampir? Karena segala yang bernama kecemasanku adalah kamu. Apakah
kamu masih takut buang air di tengah malam sendiri dan selalu minta ditemani?
Sementara aku selalu berpesan pada langit malam agar selalu santun menjagamu
dari gelap. Seandainya kita masih bersama, aku akan selalu menjagamu. Tapi
bolehkan aku berharap? Meski harapan selalu menjadi mahal untuk diwujudkan.
Tibalah pada
sebuah akhir dari suratku. Dari seseorang yang hidupnya bersandar pada
kenangan. Dan kenangan itu adalah serupa kamu. Kita perlahan akan di eja tua
dan kemudian mati. Tapi siapa yang tak pernah merasa rindu dan kehilangan?
Percayalah, kita akan saling mengenang ketika hujan tiba. Selamanya.
Shidqi Ni'am