Cinta Monyet, Cinta Mejikuhibiniu | Halimah Garnasih.



Jum’at penuh berkah kemarin, tanggal 05 Januari 2015, aku mendapatkan fitnah mugholladzoh. Sebuah koran Nasional mengkategorikanku sebagai muslimah berprestasi. Yawoooh… sedih rasane. Betapa berat pitnah itu datang. Kubayangkan, di kiri-kanan, Lek Rokib dan Lek Atid sedang cangkrung sambil cekikikan, ngece melihatku membaca setiap kalimat pada halaman dua belas di koran itu. Memang, selain Tuhan dan aku, kedua paklek di atas juga menyaksikan sepak terjangku dalam hidup ini, termasuk sepak sandungku dalam menyintai para lelaki. Para? Woh, akeh berarti? Ya begitulah, Lek, kenyataannya. Tapi, aku selalu menyintai dengan nyingit-nyingit, sembunyi-sembunyi. “Aku termasuk sebiji perempuan yang sering menyintai dengan bibir terkatup namun dengan rindu yang senantiasa menganga rekah. Lebih rekah dari mawar yang indah tengadah menyambut guyuran hujan dari langit.”

Lek, beberapa kali aku mengalami hati yang patah. Aku beri bocoran cerita kepatah hatianku yang perdana ya? Perdana? Ya, kartu perdana di Kartocell senantiasa mengingatkanku pada kesedihan itu. Yasudahlah. Semua telah terjadi.

Lelaki beruntung itu bernama Anjas (lelaki mana lagi yang tak beruntung dicintai perempuan paling polos sedunia-akhirat seperti akuh, Lek?). Dia teman SDku. Iya… cinta monyetkuh... Waktu itu, kami sekelas sedang dilanda sindrom telenovela, judulnya Amigos X Siempre. Dalam menghayati cinta monyetku itu, aku sangat merasa bahwa di dalam kelas akulah Anna dan Anjas adalah Pedro.

Aku yang tomboy banget sewaktu SD, suka gelut  dengan para lelaki dan menjelma sebagai pahlawan setiap ada teman perempuanku diganggu preman di Sekolah, tiba-tiba akan didominasi feminitas perasaan saat Anjas lewat menyaksikanku sedang mengangkat tangan siap-siap menjotos teman, atau sedang memasang aksi kuda-kuda menyelamatkan banyak perempuan yang sedang berdiri di belakangku. Aku akan melambung seperti balon warna-warni yang sengaja dilepaskan ke langit setiap Anjas melewati bangkuku dengan senyum lembutnya. Indahnyo... perasaan itu kalau dikenang. Manisnya melebihi manisnya gulali.

Namun rupanya Tuhan tidak berkehendak aku menjadi perempuan lemah yang tumbuh lempeng tanpa diterjang lika-liku bebatuan hidup, yang menghantam perasaan. Ya, suatu kali aku harus menelan pahit-pahit menyaksikan Anjas memainkan rambut teman perempuanku yang dikucir ke belakang seperti rambutnya Anna. Panjang dan indah. Aku tak pernah punya rambut panjang. Rambutku selalu pendek dan terjepit simple di bagian depan dengan jepit yang sederhana pula. Tanpa bunga-bunga apalagi boneka. Dengan mata kepalaku sendiri, Lek, juga dengan kedua telingaku yang setia merekam suara Anjas di kelas, aku melihat dan mendengar teman-teman sekelas menyoraki Anjas dan teman perempuan berkucir ke belakang itu. Teman-teman sekelas mengeluh-ngeluhkan Anjas sebagai Pedro dan perempuan ituh, perempuan ituh… sebagai Anna. Anna, Lek! Anna! Retaklah hati Halimah kecil, Lek!. Retak berkalang tanah.

Bapakku adalah orang Madura yang sangar, dengan satu pesan moralnya yang kujunjung tinggi-tinggi: Kalau Halimah tidak salah, Halimah tidak boleh menangis!. Dalam keretakan hatiku, Lek, pesan bapak terngiang-ngiang. Keretakan hati itu kupendam dalam-dalam, tak kuijinkan melebur bersama air mata, Lek. Karena cintaku pada Anjas, bukanlah sebuah kesalahan. Dia adalah mejikuhibiniu pada masa kecilnya Halimah. Iyah… dia membuat hidupkuh berwarna-warnih….

Lalu, perih yang menganga dalam hatiku, kulampiaskan dengan tenggelam dalam buku pelajaran agama. Setiap melihat Anjas atau perempuan itu, setiap itu pula, kusumpal mata dan hatiku dengan buku pelajaran agama. Setiap Anjas lewat di depan bangkuku dan melempar senyumnya yang lembut seperti biasa, kutundukkan mataku. Cepat-cepat menyirami hatiku yang mulai kecebak-kecebuk dengan sholawat “Allahummasholli ‘alaa Muhammad” banyak-banyak kali.

Gayung bersambut, Lek. Di akhir semester, kabar bahagia datang dari Guru Pelajaran Agama. Hasil ujian pelajaran agamaku, paling tinggi sekecamatan. Nyaris mendapatkan nilai sempurna. Tentu saja, aku sangat tidak percaya. Tapi tiba-tiba, adegan itu terjadi. Bu Mut, guru agamaku itu, saking senangnya, berlari menujuku (yang terkenal sebagai perempuan ndableg di Sekolah), dan memelukku erat-erat.

Bersamaan dengan melambungnya nilaiku, melambung pulalah nama belio di seantero ruang dengan guru agama sekecamatan. Waktu itu aku malah merasa ganjil, klaim anak paling ndableg di Sekolah bersanding dengan nilai pelajaran agama yang paling tinggi. Siapa yang salah? Tidak ada yang salah, bahkan cinta monyetku pada Anjas, Pedrokuh…

Aku masih berdiri kaku dalam pelukan Bu Mut (Allaahummaghfirlahaa), saat Anjas memandangku dengan mata berbinar-binar. Tapi Maaf, Anjas, Aku sekarang realistis. Kamu harus tahu, aku bukan Annamu lagi. Aku Halimah. Halimahnya bapakku. Tapi, cintaku padamu adalah absah… tiadalah kesalahannya. Karena cinta adalah cinta. Ia terbang pada hati-hati yang bersih nan suci. Meski kata Mas Puthut Cinta Tak Pernag Tepat Waktu, Cinta Adalah Cinta. Apa Itu Cinta? Ya, Cinta. Cinta Wae Ra Ngerti. OJO NGISIN-NGISINI WONG ENDONESAH, ah!

Halimah Garnasih,
Manis dan Sederhana.

1 comment:

  1. The Best Tombola Bronze Cross Necklace - Titsanium
    Tombola Bronze Cross silicone dab rig with titanium nail Necklace ford ecosport titanium by babylisspro nano titanium spring curling iron Titsanium. micro touch titanium trim Shop online for tombola bronze cross necklace at Titsanium.com. 2021 ford escape titanium hybrid

    ReplyDelete