Apa yang lebih bijak dari menerima perpisahan itu sendiri? Aku kira
tidak ada.
Terserah jika kalian lebih memilih memecundangi hidup dan menangis sekeras-kerasnya lalu menenggak
alkohol hingga pagi menyingsing menertawakan harapan-harapan. Namun harus
disadari benar, bahwa ada satu hal yang tak boleh kalian lakukan. Adalah memaksanya
kembali. Dia sudah menikah, sudah bahagia dengan atau tanpa diri kalian. Dia
pasti baik-baik saja dan sedang tersenyum.
Namun, benarkah kalian ingin dia kembali? Apakah ini benar-benar
dilandasi oleh perasaan cinta? Jangan-jangan hanya rasa iba atas
kesalahan-kesalahan yang telah kalian lakukan. Ah, betapa jahat benar perasaan
iba itu. Betapa jahatnya kalian kembali mencintai atas dasar rasa kasihan
semata.
Aku tahu, tentu saja kalian kesepian. Merasa pedih. Merasa telah
membuat kesalahan besar yang sedemikan gawat hingga dia memilih untuk tak
tinggal. Tapi sebentar, bukankah itu sudah terjadi? Kalian sudah melukainya,
dia lantas perlahan berdiri sendiri, perlahan mengobati lukanya sendiri dan
kini dia sudah bisa menghadapi kehidupannya sendiri tanpa kalian. Lalu, apa
hak kalian untuk merusak kembali semua itu?
Haha.. Kalian
benar-benar berharap dia akan memanggil kembali, menghubungi lagi, mengirim
pesan pendek dan semuanya kembali membaik seperti sebelum-sebelumnya dan
memulai segalanya dari awal lagi. Tapi aku tahu, itu mustahil. Mustahil karena
dengan segala kedunguan dan kebodohan yang sudah kalian perbuat tentu saja.
Mustahil dengan segala kesalahan yang bakal dan masih akan kalian ulangi lagi.
Yaitu menyakiti orang-orang baru yang datang pada kalian.
Kalian memang bodoh, tidak pernah bisa belajar. Masih saja gemar
menyakiti orang lain, menyakiti orang yang menyayangi kalian dan itu sejujurnya
justru menyakiti diri kalian sendiri. Lalu kalian mencoba menyakiti diri kalian
sendiri, dengan harapan itu membuat kalian merasa terbebas dari rasa bersalah.
Namun justru hal itu membuat kalian semakin merasa bersalah. Rasa bersalah akan
selalu ada, ia ada, ia abadi, ia akan selalu ada selama kalian belum memaafkan
diri kalian sendiri.
Dan parahnya, kalian berusaha melupakannya dengan berbagai hal.
Menenggak alkohol, bermain musik, menonton film sebanyak-banyaknya, seks dengan
siapa saja dan banyak hal lainnya. Tapi aku tahu, itu tidak berguna sama
sekali. Iya kan? Mengaku saja.
Saban malam, kalian terbangun dini hari, dengan keringat membasahi baju
karena kota memang sedang panas. Hal pertama yang kalian ingat adalah
senyumannya. Kemudian kalian menangis perlahan, sesunggukan. Sejurus kemudian, lagi-lagi
kalian pun tersadar bahwa tangisan tak akan
merubah apapun!!
Kalian berpikir telah mengakhiri semuanya. Yaitu, dengan selesai
berharap lalu mengemasi setiap perasaan yang ada. Namun itu kembali sia-sia. Ingatan dan kenangan
mengkhianati semua usaha kalian untuk melupakannya dan melanjutkan hidup kalian.
Perlahan ketika lagu Payung Teduh dan Frau diputar, kalian kembali
mengingatnya. Ketika berjalan sendirian di trotoar kota, ketika menikmati
desiran angin di tepi pantai, naik kendaraan sendirian, ingatan tentangnya
selalu muncul. Kalian mulai dijajah kenangan, dipaksa menyerah oleh
ingatan-ingatan tentang kemesraan yang usang.
Tapi bukankah hidup itu menyoal melupakan dan dilupakan? Kalian
berusaha melupakannya dan kalian memang telah dilupakan. Dia telah bahagia
sedangkan kalian disiksa kebencian kalian sendiri dengan kemarahan yang kalian
pelihara tanpa alasan. Hingga pada akhirnya kalian membusuk, hati menjadi
keras dan biadab, sehingga menyakiti siapapun yang datang dan
berusaha menyelamatkan kalian dari penyesalan.
Apakah harus dengan sepengecut itu sebuah kedirian terbentuk? Aku kira tidak. Maka bantinglah botol alkoholmu, bungkam jerit tangismu, dan maafkan dirimu. Tak pernah salah dan tak ada kata terlambat untuk halal-bi-halal dengan diri sendiri.
Shidqi Ni'am
Pria yang suka menasihati diri sendiri