Ah, mari kita bersepakat. Bersepakat soal apa? Menyoal perpisahan. Apa yang paling bisa menggambarkan sebuah perpisahan? Dimana ketika pada satu waktu kata-kata tidak lagi mempunyai arti, tindakan tak lagi berarti dan kebersamaan tak ubahnya hanya lelucon belaka. Barangkali kita juga tidak pernah benar-benar bisa sadar bahwa kebersamaan adalah satu hal yang Tuhan sekalipun enggan memikirkanNya. Tapi bersepakat soal perpisahan apakah itu penting? Tak lebih dari kebutuhan kita kencing. Perasaan ngilu menahan pipis adalah perjumpaan, sedangkan menuju toilet dan mengeluarkannya adalah perpisahan itu sendiri. Mau tak mau kita pasti akan kencing, dan perpisahan adalah sedekat keharusan itu.
Tapi apakah itu penting sayang? Kita merayakan
perpisahan ini? Air mata hanya selebrasi sesaat saja. Sebagaimana tadi, aku
bisa hidup tanpamu tapi tak mungkin aku tidak kencing. Lalu langkah selanjutnya
apa? Mari kita sama-sama lupakan rencana pernikahan kita, menimang anak-anak
yang lucu dan sesekali kita akan berselisih nama apa yang tepat untuk anak kita
kelak. Kita kubur saja, olok-olok saja agar perayaan ini purna sayang. Meskipun
kita sama-sama tahu itu adalah hal pelik nan rumit.
Entah siapa yang menginginkan perpisahan ini?
Bisa kamu jelaskan betapa melenakan dan menentramkan ketika diam dan disamping
seseorang yang kita sayang? Kita pernah melakukannya sayang. Dan sekarang kita
sama-sama menjadi bodoh tanpa ada yang mengakui dan menyadari bahwa kita rindu
kebersamaan itu.
Apa yang lebih mengasyikkan daripada ketika
kita bersama lalu terjadi cekcok hebat hanya menyoal berapa cangkir kopi yang
aku minum dalam semalam. Menyoal berapa banyak rokok yang sudah aku habiskan
ketika sedang mengejar deadline. Kamu
yang selalu mengomel tentang aku yang tak pernah peduli soal gegasnya waktu.
Sedangkan kamu akan menyerah ketika aku memintamu untuk memasak dan menyediakan
bahu ketika kamu lelah-lelahnya bekerja di kantoran.
Namun dari semua itu, kita lagi-lagi tersadar
bahwa kebersamaan adalah upaya untuk saling menggenapi. Kesendirian bukanlah
rumus yang tak lengkap, dan manusia sendiri membutuhkan yang lain untuk bisa
menggenapi yang ganjil. Dua tidak juga berarti genap dan tiga juga bukan
berarti ganjil. Ah, kamu tahu benar aku tak pandai berhitung sayang.
Lalu kenapa kita berpisah sayang? Hal terdekat
dari perpisahan adalah jarak. Bukankah seharusnya jarak hanya soal angka-angka,
ukuran-ukuran, hitungan-hitungan yang sama-sama kita kutuki keberadaannya.
Namun kenapa jarak di sini justru memisahkan seperti angka-angka skala di peta.
Aku lelah sendiri sayang. Soal betapa sebenarnya kebersamaan kita adalah
keberadaanmu yang selalu membuat hidupku menjadi lebih waras, lebih
menyenangkan. Setelah apa-apa dalam hidup ini kita mengerjakan hal yang tidak
kita sukai, bekerja untuk memenuhi keinginan orang yang kita benci, agar bisa
terus menjalani kehidupan yang layak, yang sebenarnya kita kutuk keberadaannya.
Aku sadar, aku terlampaui mencintaimu. Namun
mencintaimu saja tidak cukup. Mencintaimu dengan keras kepala hanya akan
menjadi cemooh orang tuamu saja. Karena aku mencintaimu dengan seluruh
kekuatanku yang pemalas ini adalah ingus yang harus dibuang. Seharusnya aku
sadar sejak dulu, sebelum perpisahan itu, bahwa untuk
membahagiakanmu aku perlu bekerja, mencari uang demi hal-hal sepele seperti
makan, tidur dan jaminan rasa aman. Kamu selalu menyadarkanku bahwa kita tidak
bisa hidup melulu dengan cinta. Cinta akan habis pada waktunya. Mungkin setelah
usia pernikahan kita menginjak angka 20, kita tidak lagi mudah terangsang oleh
pesona masing-masing. Kamu sungguh meyakini itu, dan aku selalu tidak. Tidak
pernah.
Meskipun demikian, kamu mencoba tetap bertahan
denganku yang pemalas ini. Tidak akan menulis jika tidak dikejar deadline dari
editor. Tidak akan mengirim tulisan jika isi dompet masih cukup untuk makan dan
sesekali membeli bir. Karena lagi-lagi kita sadar, bahwa menjadi manusia yang
kasmaran artinya mengakui bahwa kita itu fana. Aku mencintaimu karena kamu
menyadari segala kelemahanku, dan aku pun tak tahu apa alasanmu dulu
mencintaiku. Namun dari kebersamaan kita dulu, aku melihat di matamu, bahwa
kamu siap untuk tidak lagi tunduk pada ketakutan-ketakutan kehidupan dan justru
menyongsongnya sebagai karib yang tengik. Persoalan pada akhirnya perpisahan
adalah wujud menyerahmu itu urusan nanti. Setidaknya saat itu kamu percaya aku
adalah orang yang tepat untuk menghadapi itu semua.
Pada akhirnya, perpisahan adalah sebuah akhir
menuju permulaan yang baik. Setidaknya kamu sudah bijak memutuskan semua ini.
Sedang aku masih dungu dan bebal sayangku. Dungu dan bebal karena berharap kamu
kembali dan meyakini perpisahan ini cuma sementara. Keyakinan berlebih hanya
akan membuat kita semua dungu. Sayangku yang ada dipelukan orang lain, tetaplah
berpikir sehat dan percaya pada hati nuranimu. Jangan
trauma, aku yang terlalu bodoh memang. Aku tidak baik, jahat dan mungkin sangat
keji, tapi aku mencintaimu. Dan terimakasih telah membuatku semakin yakin bahwa
hidup memang terlampau brengsek untuk dijalani sendiri. Dan ah, keniscayaan dan
harapan yang ditaburkan senjakala
terlampau brengsek adanya.
Shdiqi Ni'am,
Masih meyakini bahwa kesedihan memiliki estetikanya sendiri.
Masih meyakini bahwa kesedihan memiliki estetikanya sendiri.
Tidak ada pertemuan tanpa perpisahan. Semuanya ada waktunya. Sabar menjalani proses kawan. Terimakasih
ReplyDeleteKembali kasih kakak :D
DeleteKembali kasih kakak :D
DeleteDuhhh kak..
ReplyDeleteDuhh kak..
ReplyDeleteDuh dek
Delete