PERPISAHAN MASUK AKAL | Shidqi Ni'am



Ah, mari kita bersepakat. Bersepakat soal apa? Menyoal perpisahan. Apa yang paling bisa menggambarkan sebuah perpisahan? Dimana ketika pada satu waktu kata-kata tidak lagi mempunyai arti, tindakan tak lagi berarti dan kebersamaan tak ubahnya hanya lelucon belaka. Barangkali kita juga tidak pernah benar-benar bisa sadar bahwa kebersamaan adalah satu hal yang Tuhan sekalipun enggan memikirkanNya. Tapi bersepakat soal perpisahan apakah itu penting? Tak lebih dari kebutuhan kita kencing. Perasaan ngilu menahan pipis adalah perjumpaan, sedangkan menuju toilet dan mengeluarkannya adalah perpisahan itu sendiri. Mau tak mau kita pasti akan kencing, dan perpisahan adalah sedekat keharusan itu. 
Tapi apakah itu penting sayang? Kita merayakan perpisahan ini? Air mata hanya selebrasi sesaat saja. Sebagaimana tadi, aku bisa hidup tanpamu tapi tak mungkin aku tidak kencing. Lalu langkah selanjutnya apa? Mari kita sama-sama lupakan rencana pernikahan kita, menimang anak-anak yang lucu dan sesekali kita akan berselisih nama apa yang tepat untuk anak kita kelak. Kita kubur saja, olok-olok saja agar perayaan ini purna sayang. Meskipun kita sama-sama tahu itu adalah hal pelik nan rumit.
Entah siapa yang menginginkan perpisahan ini? Bisa kamu jelaskan betapa melenakan dan menentramkan ketika diam dan disamping seseorang yang kita sayang? Kita pernah melakukannya sayang. Dan sekarang kita sama-sama menjadi bodoh tanpa ada yang mengakui dan menyadari bahwa kita rindu kebersamaan itu.
Apa yang lebih mengasyikkan daripada ketika kita bersama lalu terjadi cekcok hebat hanya menyoal berapa cangkir kopi yang aku minum dalam semalam. Menyoal berapa banyak rokok yang sudah aku habiskan ketika sedang mengejar deadline. Kamu yang selalu mengomel tentang aku yang tak pernah peduli soal gegasnya waktu. Sedangkan kamu akan menyerah ketika aku memintamu untuk memasak dan menyediakan bahu ketika kamu lelah-lelahnya bekerja di kantoran.
Namun dari semua itu, kita lagi-lagi tersadar bahwa kebersamaan adalah upaya untuk saling menggenapi. Kesendirian bukanlah rumus yang tak lengkap, dan manusia sendiri membutuhkan yang lain untuk bisa menggenapi yang ganjil. Dua tidak juga berarti genap dan tiga juga bukan berarti ganjil. Ah, kamu tahu benar aku tak pandai berhitung sayang.
Lalu kenapa kita berpisah sayang? Hal terdekat dari perpisahan adalah jarak. Bukankah seharusnya jarak hanya soal angka-angka, ukuran-ukuran, hitungan-hitungan yang sama-sama kita kutuki keberadaannya. Namun kenapa jarak di sini justru memisahkan seperti angka-angka skala di peta. Aku lelah sendiri sayang. Soal betapa sebenarnya kebersamaan kita adalah keberadaanmu yang selalu membuat hidupku menjadi lebih waras, lebih menyenangkan. Setelah apa-apa dalam hidup ini kita mengerjakan hal yang tidak kita sukai, bekerja untuk memenuhi keinginan orang yang kita benci, agar bisa terus menjalani kehidupan yang layak, yang sebenarnya kita kutuk keberadaannya.
Aku sadar, aku terlampaui mencintaimu. Namun mencintaimu saja tidak cukup. Mencintaimu dengan keras kepala hanya akan menjadi cemooh orang tuamu saja. Karena aku mencintaimu dengan seluruh kekuatanku yang pemalas ini adalah ingus yang harus dibuang. Seharusnya aku sadar sejak dulu, sebelum perpisahan itu, bahwa untuk membahagiakanmu aku perlu bekerja, mencari uang demi hal-hal sepele seperti makan, tidur dan jaminan rasa aman. Kamu selalu menyadarkanku bahwa kita tidak bisa hidup melulu dengan cinta. Cinta akan habis pada waktunya. Mungkin setelah usia pernikahan kita menginjak angka 20, kita tidak lagi mudah terangsang oleh pesona masing-masing. Kamu sungguh meyakini itu, dan aku selalu tidak. Tidak pernah.
Meskipun demikian, kamu mencoba tetap bertahan denganku yang pemalas ini. Tidak akan menulis jika tidak dikejar deadline dari editor. Tidak akan mengirim tulisan jika isi dompet masih cukup untuk makan dan sesekali membeli bir. Karena lagi-lagi kita sadar, bahwa menjadi manusia yang kasmaran artinya mengakui bahwa kita itu fana. Aku mencintaimu karena kamu menyadari segala kelemahanku, dan aku pun tak tahu apa alasanmu dulu mencintaiku. Namun dari kebersamaan kita dulu, aku melihat di matamu, bahwa kamu siap untuk tidak lagi tunduk pada ketakutan-ketakutan kehidupan dan justru menyongsongnya sebagai karib yang tengik. Persoalan pada akhirnya perpisahan adalah wujud menyerahmu itu urusan nanti. Setidaknya saat itu kamu percaya aku adalah orang yang tepat untuk menghadapi itu semua.

Pada akhirnya, perpisahan adalah sebuah akhir menuju permulaan yang baik. Setidaknya kamu sudah bijak memutuskan semua ini. Sedang aku masih dungu dan bebal sayangku. Dungu dan bebal karena berharap kamu kembali dan meyakini perpisahan ini cuma sementara. Keyakinan berlebih hanya akan membuat kita semua dungu. Sayangku yang ada dipelukan orang lain, tetaplah berpikir sehat dan percaya pada hati nuranimu. Jangan trauma, aku yang terlalu bodoh memang. Aku tidak baik, jahat dan mungkin sangat keji, tapi aku mencintaimu. Dan terimakasih telah membuatku semakin yakin bahwa hidup memang terlampau brengsek untuk dijalani sendiri. Dan ah, keniscayaan dan harapan yang  ditaburkan senjakala terlampau brengsek adanya.
Shdiqi Ni'am,
Masih meyakini bahwa kesedihan memiliki estetikanya sendiri.

6 comments: